KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan
Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-NYA kepada
kita semua sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah ini dengan lancar.
Tujuan penulis menyusun makalah ini adalah sebagai tugas terstruktur matakuliah
Bahasa Indonesia yang diberikan oleh dosen matakuliah. Penulis mengambil judul
makalah “Sistem Ekonomi Kerakyatan Versus Sistem Ekonomi Liberal di Indonesia”
karena saat ini banyak terjadi perdebatan mengenai sistem ekonomi yang
diterapkan di Indonesia antara sistem ekonomi kerakyatan atau sistem ekonomi
liberal. Selanjutnya, hal itu memunculkan banyak pendapat yang pro dan kontra
mengenai sitem ekonomi yang diterapkan di Indonesia.
Dalam makalah ini dijelaskan mengenai
pengertian dari kedua sistem ekonomi tersebut secara detail dari ciri-ciri dan
perkembangannya, serta kelemahan dan kelebihan, perkembangan perekonomian di
Indonesia, dan pada akhirnya mengarah kepada sistem ekonomi mana yang cocok
diterapkan di Indonesia. Penulis menyusun makalah ini dari berbagai pustaka
berupa buku dan infromasi dari internet. Teknik analisisnya menggunakan metode
kualitatif yang berupa kalimat deskriptif dalam menjelaskan makalah mengenai
topik yang penulis angkat.
Dalam pembuatan suatu karya pasti banyak
terjadi hambatan. Dalam hambatan ini harus dihadapi oleh orang yang
bersangkutan. Seperti penulis yang kesulitan menentukan poin-poin mana saja
yang akan dijelaskan dalam makalah ini. Namun, penulis dapat menghadapinya
dengan membaca rujukan berupa buku dan internet. Selanjutnya, penulis juga
masih menunda-nunda dalam mengerjakan makalah ini yang membuat tugas kuliah
semakin menumpuk. Akibatnya, penyusunan makalah ini tidak segera diselesaikan.
Tetapi, penulis sadar bahwa tugas yang ada harus diselesaikan segera agar tidak
menumpuk sehingga nantinya beban semakin berkurang. Penulis juga masih
kesulitan dalam membagi waktu antara kuliah, kegiatan, belajar, dan mengerjakan
tugas. Syukur alhamdulillah penulis bisa mengendalikannya dengan membuat jadwal
harian yang terstruktur.
Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada pihak-pihak yang sudah turut serta membantu penyelesaian makalah
ini yang berupa materi maupun nonmateri. Adapun pihak-pihak tersebut adalah
1. Allah SWT sebagai sumber kekuatan dan
inspirasi penulis
2. kedua orang tua penulis yang selalu mendoakan
dan mendorong untuk terus belajar
3. Ibu Wahyu Winiarsih selaku dosen matakuliah
Bahasa Indonesia yang sudah memberikan banyak ilmu kepada penulis
4. teman-teman yang sudah mendukung penulis
5. serta pihak-pihak lain yang tidak bisa penulis
sebutkan semua.
Namun, penulis sebagai manusia biasa yang
tidak pernah luput dari kesalahan. Penulis sudah melakukan yang terbaik.
Demikian juga terhadap makalah ini yang masih banyak terdapat kekurangan. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi perbaikan
makalah ini untuk menjadi yang lebih baik ke depannya.
TelukDalam, 01 April
2014
Penulis
DAFTAR ISI
Hlm.
Halaman Judul
........................................................................................................ i
Motto dan Persembahan ......................................................................................... ii
Kata Pengantar
....................................................................................................... iii
Daftar Isi ................................................................................................................ v
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah
............................................................................................ 2
1.3 Tujua Pembahasan
........................................................................................... 2
1.4 Manfaat Pembahasan
....................................................................................... 2
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Konsep Ekonomi Kerakyatan
.......................................................................... 3
2.1.1 Pengertian dan Konsep Ekonomi Kerakyatan
........................................ 3
2.1.2 Tujuan Ekonomi Kerakyatan
.................................................................. 5
2.2 Konsep Ekonomi Liberalisme
......................................................................... 6
2.2.1 Pengertian dan Konsep Ekonomi Liberal
............................................... 6
2.2.2 Ciri-ciri Ekonomi Liberal
....................................................................... 7
2.2.3 Kebaikan Ekonomi Liberal
.................................................................... 8
2.2.4 Kelamahan Ekonomi Liberal
................................................................. 8
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Sejarah Perkembangan Perekonomian Indonesia
............................................ 9
3.1.1 Orde Lama
.............................................................................................. 9
3.1.2 Orde Baru
............................................................................................... 11
3.1.3 Orde Reformasi
...................................................................................... 12
3.2 Ekonomi Kerakyatan Versus Ekonomi Liberal
.............................................. 13
3.2.1 Ekonomi Kerakyatan
............................................................................. 13
3.2.2 Ekonomi Liberal
.................................................................................... 18
3.2.3 Subversi Neokolonialisme ..................................................................... 20
3.2.4 Perbandingan Ekonomi Kerakyatan dengan
Ekonomi Liberal ............. 22
3.3 Peran Negara dalam Ekonomi
........................................................................ 23
3.4 Perlunya Ekonomi Kerakyatan Dijadikan
sebagai Strategi Pembangunan Ekonomi Indonesia
.............................................................................................................. 26
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 29
4.2 Saran
............................................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 31
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini, banyak sekali terjadi perdebatan
mengenai konsep sistem ekonomi yang diterapkan di Indonesia. Mereka
memperdebatkan antara sistem ekonomi kerakyatan dan sistem ekonomi liberal
dengan argumen mereka masing-masing. Dari perdebatan tersebut tentu memunculkan
konflik-konflik yang pro dan kontra mengenai sistem ekonomi yang cocok
diterapkan di Indonesia. Yang pro terhadap sistem ekonomi liberal menyatakan
bahwa di Indonesia sangat terlihat jelas bahwa sistem ekonomi liberal
diterapkan di negara ini. Hal itu bisa dilihat dengan aktivitas perekonomian
dari banyak aspek. Misalnya, unit-unit faktor produksi boleh dimilki secara
pribadi terlalu berlebihan. Banyak perusahaan besar yang dipegang pribadi
dengan investasi bebas dari manapun. Kepemilikan perusahaan tersebut hanya
berorientasi profit yang hanya bisa dinikmati oleh pemegang dan anggotanya.
Sistem ekonomi ini memilki persaingan yang sangat ketat untuk menjadi
perusahaan yang lebih maju dari yang lainnya.
Sementara yang kontra terhadap sistem ekonomi
liberal menyatakan bahwa sistem ini membawa kerugian bagi rakyat. Hal itu bisa
dilihat dari keterbatasan rakyat dalam memilki faktor-faktor produksi untuk
membangun usaha. Dengan keadaan seperti ini, rakyat akan semakin miskin saja
sementara yang kaya semakin kaya. Selain itu, sistem ini tidak sesuai dengan
cita-cita bangsa Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Sistem
ekonomi yang diterapkan di Indonesia adalah sistem ekonomi yang berasaskan
Pancasila berorientasi rakyat. Namun, bagaimana fakta perekonomian di
Indonesia? Sudah sesuaikah dengan sistem ekonomi kerakyatan?
Sistem ekonomi yang diterapkan di Indonesia
mengalamai keambiguan. Prinsipnya adalah sistem ekonomi yang sesuai dengan
nilai-nilai Pncasila. Akan tetapi, pada pelaksanaannya nol. Justru
liberalis-kapitalislah yang lebih dominan terlihat di Indonesia. Rakyat yang
menjadi ikon demokrasi di Indonesia juga hanya sebatas formalitas saja. Setelah
itu, perhatian terhadap rakyat tidak ada implementasinya.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini yaitu
1. Bagaimana sejarah perkembangan perekonomian
Indonesia?
2. Bagaimana peran sistem ekonomi kerakyatan
versus sistem ekonomi liberal dalam mendukung perekonomian Indonesia?
3. Bagaimana peran negara dalam ekonomi?
4. Perlukah ekonomi kerakyatan dijadikan sebagai strategi
pembangunan ekonomi Indonesia?
1.3 Tujuan Pembahasan
Tujuan dari pembahasan makalah ini adalah
1. Menjelaskan konsep yang jelas mengenai ekonomi
kerakyatan dan ekonomi liberal
2. Menjelaskan bagaimana sejarah perekonomian di
Indonesia
3. Menjelaskan sistem ekonomi manakah yang cocok
diterapkan di Indonesia
1.4 Manfaat Pembahasan
Manfaat dari pembahasan makalah ini adalah
1. Mengetahui konsep ekonomi kerakyatan dan
ekonomi liberal
2. Mengetahui bagaimana rentetan sejarah
perekonomian di Indonesia
3. Mengetahui sistem ekonomi apa yang cocok
diterapkan di Indonesia
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Konsep Ekonomi Kerakyatan
2.1.1 Pengertian Konsep Ekonomim Kerakyatan
Ekonomi kerakyatan, sebagaimana dikemukakan
dalam Pasal 33 UUD 1945, adalah sebuah sistem perekonomian yang ditujukan untuk
mewujudkan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi. Tiga prinsip dasar ekonomi
kerakyatan adalah sebagai berikut: (1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas azas kekeluargaan; (2) cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan
(3) bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan ketiga prinsip tersebut dapat
disaksikan betapa sangat besarnya peran negara dalam sistem ekonomi kerakyatan.
Sebagaimana dilengkapi oleh Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 34, peran negara dalam
sistem ekonomi kerakyatan antara lain meliputi lima hal sebagai berikut: (1)
mengembangkan koperasi (2) mengembangkan BUMN; (3) memastikan pemanfaatan bumi,
air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat; (4) memenuhi hak setiap warga negara untuk mendapatkan
pekerjaan dan penghidupan yang layak; (5) memelihara fakir miskin dan anak
terlantar.
Berikut pengertian konsep dari ekonomi
kerakyatan dari menurut para ahli sebagai berikut
1. Menurut
Prof. Dr. Mubyarto, Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM
Sistem
ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berasas kekeluargaan,
berkedaulatan rakyat, dan menunjukkan pemihakan sungguh-sungguh pada ekonomi rakyat. Dalam
praktiknya, ekonomi kerakyatan dapat dijelaskan juga sebagai ekonomi jejaring (network)
yang menghubungkan sentra-sentra inovasi, produksi, dan
kemandirian usaha masyarakat ke dalam suatu jaringan berbasis teknologi
informasi, untuk terbentuknya jejaring pasar domestik di antara
sentra dan pelaku usaha masyarakat.
Ekonomi
rakyat adalah kegiatan atau mereka yang berkecimpung dalam kegiatan produksi
untuk memperoleh pendapatan bagi kehidupan mereka. Mereka itu adalah petani kecil, nelayan, peternak,
pekebun, pengrajin, pedagang kecil, dan lain-lain, yang
modal usahanya merupakan modal keluarga yang kecil dan pada umumnya tidak
menggunakan tenaga kerja dari luar keluarga. Tekanan dalam hal ini adalah pada
kegiatan produksi, bukan konsumsi, sehingga buruh pabrik tidak masuk dalam
profesi atau kegiatan ekonomi rakyat, karena buruh adalah bagian dari unit
produksi yang lebih luas yaitu pabrik atau perusahaan.
Meskipun sebagian yang dikenal sebagai UKM (Usaha Kecil
Menengah) dapat dimasukkan ekonomi
rakyat, namun sebagian besar kegiatan ekonomi rakyat tidak dapat disebut
sebagai ”usaha” atau ”perusahaan” (firma) seperti yang dikenal dalam ilmu
ekonomi perusahaan.
2. Menurut Bung Hatta
Bung
Hatta dalam Daulat Rakyat (1931)
menulis artikel berjudul Ekonomi
Rakyat dalam Bahaya, sedangkan
Bung Karno 3 tahun sebelumnya (Agustus 1930) dalam pembelaan di Landraad
Bandung menulis nasib ekonomi rakyat sebagai berikut:
“Ekonomi Rakyat oleh
sistem monopoli disempitkan, sama sekali idesak dan dipadamkan(Soekarno, Indonesia
Menggugat, 1930: 31).”
3. Menurut Alfred Masrshall
Ekonomi
Rakyat adalah kancah kegiatan
ekonomi orang kecil (wong cilik), yang karena merupakan kegiatan keluarga,
tidak merupakan usaha formal berbadan hukum, tidak secara resmi diakui sebagai
sektor ekonomi yang berperanan penting dalam perekonomian nasional. Dalam literatur
ekonomi pembangunan ekonomi kerakyatan disebut sektor informal, “underground
economy”, atau “ekstralegal sector”. Alfred Marshall bapak ilmu
ekonomi Neoklasik (1890) memberikan definisi ilmu ekonomi sebagai berikut :
Economics
is a study of men as they live and move and think in the ordinary business of
life. But it concerns itselft chiefly with those motives which affect, most
powerfully and most steadily, man’s conduct in the business part of his life.[1]
4. Menurut Konvensi ILO169
tahun 1989
Secara
ringkas Konvensi ILO169 tahun 1989 memberi definisi ekonomi kerakyatan adalah
ekonomi tradisional yang menjadi basis kehidupan masyarakat lokal dalam
mempertahan kehidupannnya. Ekonomi kerakyatan ini dikembangkan berdasarkan
pengetahuan dan keterampilan masyarakat lokal dalam mengelola lingkungan dan
tanah mereka secara turun
temurun. Aktivitas ekonomi kerakyatan ini terkait dengan ekonomi subsistem,antara lain pertanian tradisional
seperti perburuan, perkebunan, mencari ikan, dan kerajinan tangan serta industri
rumahan.
Semua
kegiatan ekonomi tersebut dilakukan dengan pasar tradisional dan berbasis
masyarakat, artinya hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hidup
masyarakatnya sendiri. Kegiatan ekonomi dikembangkan untuk membantu dirinya
sendiri dan masyarakatnya, sehingga tidak mengekploitasi sumber daya alam yang
ada.
2.1.2 Tujuan Ekonomi Kerakyatan
Tujuan
yang akan dicapai dari penguatan ekonomi kerakyatan adalah untuk melaksanakan
amanat konstitusi, khususnya mengenai:
1. Perwujudan
tata ekonomi yang disusun sebagai usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan
yang menjamin keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia (pasal 33
ayat 1).
2. Perwujudan konsep Trisakti “Berdikari di
bidang ekonomi, berdaulat di bidang politik, dan berkepribadian dibidang
kebudayaan.”
3. Perwujudan
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
rakyat banyak dikuasai negara (pasal 33 ayat 2).
4. Perwujudan
amanat bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak (pasal 27 ayat 2).
Adapun
tujuan khusus yang akan dicapai adalah untuk:
1. Membangun
Indonesia yang berdikiari secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan
berkepribadian yang berkebudayaan.
2. Mendorong
pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.
3. Mendorong
pemerataan pendapatan rakyat.
4. Meningkatkan
efisiensi perekonomian secara nasional.
2.2 Konsep Ekonomi Liberal
2.2.1 Pengertian Konsep Ekonomi Liberal
Neoliberalisme, sebagaimana dikemas oleh
ordoliberalisme, adalah sebuah sistem perekonomian yang dibangun di atas tiga
prinsip sebagai berikut:
1) Tujuan utama ekonomi neoliberal adalah
pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas-sempurna di pasar;
2) Kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor
produksi diakui; dan
3) Pembentukan harga pasar bukanlah sesuatu yang
alami, melainkan hasil dari penertiban pasar yang dilakukan oleh negara melalui
penerbitan undang-undang (Giersch, 1961).
Berdasarkan ketiga prinsip tersebut maka
peranan negara dalam neoliberalisme dibatasi hanya sebagai pengatur dan penjaga
bekerjanya mekanisme pasar. Dalam perkembangannya, sebagaimana dikemas dalam
paket Konsensus Washington, peran negara dalam neoliberalisme ditekankan
untuk melakukan empat hal sebagai berikut: (1) pelaksanaan kebijakan anggaran
ketat, termasuk penghapusan subsidi; (2) liberalisasi sektor keuangan; (3)
liberalisasi perdagangan; dan (4) pelaksanaan privatisasi BUMN (Stiglitz,
2002).
Pengertian
konsep ekonomi liberal menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut:
1. Menurut Adam Smith
Salah
satu tokoh penemu ekonomi klasik, ekonomi liberal adalah suatu sistem ekonomi
yang mempunyai kaitannya dengan "kebebasan (proses) alami." Meskipun
demikian, Smith tidak pernah menggunakan penamaan paham tersebut. Sedangkan
konsep kebijakan dari ekonomi (globalisasi) liberal ialah sistem ekonomi
bergerak ke arah menuju pasar bebas dan sistem ekonomi berpaham perdagangan
bebas dalam era globalisasi yang bertujuan menghilangkan kebijakan ekonomi
proteksionisme.
2. Menurut
Niccolo Machiavelli (Florence, 1469-1527)
Dia
adalah seorang tokoh liberal terbaik yang dikenal dengan pendapatnya, II
Principe. Dia adalah pendiri realis filosofi politis yang mendukung
pemerintahan republik, angkatan perang negara, divisi kekuasaan, perlindungan
milik perorangan, dan pengekangan pembelanjaan pemerintah sebagai kebebasan
suatu republik.
Ia
menulis secara ekstensif pada kebutuhan individu sebagai suatu karakteristik
yang penting sebagai kepemerintahan yang stabil. Ia berargumentasi bahwa
sebaik-baiknya kebebasan individu masih perlu dilindungi oleh legitasi serta
regulasi yang baik dari pemerintah. Dan bahwa orang-orang yang bisa memimpin
hukum dengan benar hanyalah orang-orang yang segala ambisi dan keegoisannya
bisa dihilangkan dalam memelihara kebebasannya tersendiri. Dia berpendapat
bahwa realisme adalah pusat gagasan dalam pelajaran politis dan mengutamakan
kebebasan republik (individu) dibawah prinsip.
3. Menurut
Desiderius (Belanda, 1944-1536)
Dia
adalah seorang tokoh liberal yang dikenal sebagai orang yang
berperikemanusiaan. Dia berkata bahwa masyarakat Erasmusian melintasi Eropa
sampai pada taraf tertentu sebagai jawaban atas pergolakan reformasinya. Ia
berhadapan dengan kebebasan berkehendak. Dalam karyanya De Libero Arbitrio
Diatribe Sive Collatio (1524), ia meneliti dengan kepintaran dan kejeniusannya
untuk menghapus keterbatasan hidup sebagai pernyataan atas kebebasan manusia.
2.2.2 Ciri-ciri Ekonomi Liberal
Ciri-ciri dari ekonomi
liberal adalah sebagai berikut:
1) Setiap
orang bebas memiliki sumber-sumber produksi termasuk barang modal.
2) Setiap
orang bebas menggunakan barang dan jasa yang dimilikinya.
3) Pemerintah
tidak melakukan intervensi (campur tangan) secara langsung dalam kegiatan
ekonomi.
4) Masyarakat
terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan pemilik sumber daya produksi dan
masyarakat pekerja (buruh).
5) Timbul
persaingan dalam masyarakat yang dilakukan secara bebas, terutama aktivitas
ekonomi dilakukan untuk mendapatkan keuntungan atau laba.
6) Oleh
karena persaingan bebas, modal menjadi berperan penting dalam kegiatan ekonomi.
7) Kegiatan
selalu mempertimbangkan keadaan pasar dan pasar merupakan dasar dari setiap
tindakan ekonomi.
1.2.3 Kebaikan Ekonomi Liberal
Ekonomi liberal juga bisa membawa dampak yang
baik terhadap suatu perekonomian. Kebaikan dari ekonomi liberal sebagai berikut
1. Setiap
individu bebas memiliki kekayaan dan sumber-sumber daya produksi, yang nantinya
akan mendorong partisipasi masyarakat dalam perekonomian.
2. Menumbuhkan
inisiatif dan kreatifitas masyarakat dalam mengatur kegiatan ekonomi, karena
masyarakat tidak perlu lagi menunggu perintah / komando dari pemerintah.
3. Muncul
barang-barang yang bermutu tinggi, karena adanya persaingan semangat antar
masyarakat sehingga barang yang kurang bermutu tidak akan laku di pasaran
4. Efisiensi
dan efektivitas tinggi, karena setiap tindakan ekonomi didasarkan atas motif
ekonomi.
1.2.4 Kelemahan Ekonomi Liberal
Berikut kelemahan dari ekonomi liberal, yaitu
1. Pemilik
sumber daya produksi atau pemilik modal mengeksploitasi golongan pekerja.
Sehinggaorang kaya akan semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.
2. Monopoli
yang dilakukan perusahaan dapat merugikan masyarakat.
3. Sulit
melakukan pemerataan pendapatan.
4. Sering
terjadi gejolak dalam perekonomian karea pengerahan sumber daya oleh individu
sering salah.
5. Terjadinya
persaingan bebas yang tidak sehat jika birokratnya korupsi.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Sejarah Perkembangan
Perekonomian Indonesia
Sejak kemerdekaan negara Indonesia sampai
sekarang telah banyak terjadi perkembangan perekonomian yang sangat pesat. Hal
itu merupakan hasil terhadap kebijakan para pemimpin dalam membangun segala
aspek kehidupan di negara ini khususnya ekonomi. Perekonomian dalam setiap masa
memiliki perbedaan yang mendasar sesuai dengan kondisi pada waktu lampau hingga
sekarang. Yang jelas, perekonomian di Indonesia terjadi banyak perubahan sistem
yang membawa kebaikan dan kelemahan. Berikut penjelasan mengenai sistem ekonomi
yang pernah diterapkan di Indinesia.
3.1.1 Orde Lama
Pada masa orde lama ini dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu
a. Masa Paska Kemerdekaan (1945-1950)
Keadaan
ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lainterjadi inflasi
yang sangat tinggi, disebabkan oleh beredarnya
lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk
sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku yaitu mata
uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang
pendudukan Jepang. Berdasarkan TeoriMoneter, banyaknya jumlah
mata uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
Selain
banyaknya mata uang yang beredar, keadaan ekonomi keuangan yang amat buruk juga
disebabkan adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk
menutup pintu perdagangan luar negeri RI, kas negara yang kosong, dan
eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.
b. Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa
ini disebut masa liberal karena dalam politik maupun sistem ekonominya
menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai
teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez
faire laissez passer. Padahal pengusaha pribumi masih lemah
dan belum bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi.
Usaha-usaha
yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi antara lain:
1. Gunting
Syarifuddin yaitu pemotongan nilai
uang (sanering) 20 Maret 1950 untuk mengurangi jumlah uang beredar.
2. Progam
Benteng (Kabinet Natsir) yaitu
upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong impotir nasional agar
bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang
tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi. Selain
itu memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi, agar dapat
berpartisipasi dengan perkembangan ekonomi nasional. Namun, usaha ini gagal,
karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tidak bisa bersaing
dengan pengusaha non-pribumi (Cina).
3. Nasionalisasi
De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada
tanggal 15 Desember 1951 lewat UU 24 Tahun 1951 dengan fungsi sebagai bank
sentral dan bak sirkulasi.
4. Sistem
Ekonomi Ali-Baba (Kabinet Ali Sastroamijoyo I) yaitu
penggalangan kerjasama antara pengusaha Cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha
non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan
pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional.
Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang
berpengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit
dari pemerintah.
c. Masa
Demokrasi Terpimpin (1959-1867)
Sebagai
akibat dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem
demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem
etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah).
Kebijakan-kebijakan
yang diambil pemerintah di masa ini antara lain:
à Devaluasi yang
diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai mata uang antara lain uang
kertas pecahan Rp 500,00 menjadi Rp50,00 dan uang Rp 1000,00 menjadi Rp 100,00.
à Pembentukan Deklarasi
Ekonomi untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin.
Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi prekonomian di
Indonesia.
à Pemerintah tidak menghemat pengeluarannya malah banyak
melaksanakan proyek-proyek mercusuar.
à Kebijakan-kebijakan di
atas belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi di Indonesia dan ini merupakan
salah satu akibat karena menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa
diartikan Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, ekonomi,
maupun bidang lainnya.
3.1.2 Orde
Baru
Setelah
melihat pengalaman masa lalu, di mana dalam sistem
ekonomi liberal ternyata pengusaha
pribumi kalah bersaing dengan pengusaha non-pribumi dan sistem etatisme tidak
memperbaiki keadaan, maka dipilihlah sistem ekonomi campuran dalam kerangka
sistem ekonomi Demokrasi Pancasila.
Di
bawah kekuasaan Soeharto (1965-1998), Indonesia menjadi pelaksana teori
petumbuhan Rostow yaitu:
1. Tahap
I :
Masyarakat Tradisional.
2. Tahap
II :
Pra Kondisi untuk Tinggal Landas.
3. Tahap
III :
Tinggal Landas.
4. Tahap
IV :
Menuju Kedewasaan.
5. Tahap
V :
Konsumsi Massa Tinggi
Ini
terbukti adanya pembangunan lima tahunan yang dikenal dengan PELITA
(Pembangunan Lima Tahunan). Hasilnya pada tahun 1984
Indonesia berhasil swasembada beras, penurunan angka kemiskinan, perbaikan
indikator kesejahteraan rakyat, dan industrialisasi meningkat pesat. Namun, dampak
negatifnya adalah kerusakan serta pencemaran lingkungan, perbedaan ekonomi
antar daerah, antar golongan pekerjaan dan antar kelompok dalam masyarakat
terasa semakin tajam, penumpukan utang luar negeri, dan menimbulkan konglomerasi
dan bisnis yang sarat dengan KKN. Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan
ekonomi tanpa di imbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang adil.
Namun, pada tanggal 21
Mei 1998, Indonesia mengalami krisis moneter yang membuat Soeharto lengser.
Indonesia belum sempat menuju tahap Tinggal Landas malah kemudian meninggalkan
landasannya hingga lupa pijakan ekonominya rapuh dan mulai hancur.
3.1.3 Orde
Reformasi
Pada masa reformasi
juga dapat dibagi sebagai berikut:
1) Masa
Kepemimpinan BJ. Habibie
Pemerintahan presiden
BJ.Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-manuver yang
cukup tajam dalam ekonomi.
2) Masa
Kepemimpinan Abdurrahman Wahid
Di masa ini belum ada
tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan.
Padahal ada berbagai persoalan ekonomi yang diwarisi dari orde baru antara lain
masalah KKN, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs
rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya
di mata masyarakat. Akibatnya, kedeudukan diganti oleh Megawati.
3) Masa
Kepemimpinan Megawati Soekarno Putri
Kebijakan-kebijakan
yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain:
a. Meminta
penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5.8 milyar pada pertemuan Paris Club
ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
b. Kebijakan
privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode
krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi
kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu
berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1%. Namun kebijakan
ini memicu banyak kontroversi karena BUMN diprivatisisasi, dijual ke perusahaan
asing.
4) Masa
Kepemimpinan SBY-JK
Kebijakan
kontroversial pertama SBY adalah mengurangi subsidi BBM atau dengan kata lain
menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatarbelaki oleh naiknya harga minyak
dunia. Anggarn subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan, kesehatan,
serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat. Lalu
kebijakan kontroversial kedua yakni BLT (Bantuan Lngsung Tunai) bagi masyarakat
miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak mendapatkannya. Ada
yang mengaku masyarakat miskin sehingga menerima BLT tersebut, serta sistem
pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.
Pada
bulan Oktober 2006, Indonesia melunasi seluruh sisa utangnya pada IMF dalam
menentukan kebijakan dalam negeri. Namun, wacana untuk berhutang lagi ke luar
negeri kembali mencuat setelah laporan bahwa kesenjangan ekonomi antar penduduk
kaya dan mislin menjadi tajam dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10
jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 jutajiwa di bulan Maret 2006.
Hal
ini disebabkan karena pengucuran kredit perbankan ke sektor riil masih kurang
(perbankan masih suka menyimpan dan di SBI), sehingga kinerjanya kurang dan
berimbas pada turunnya investasi. Selain itu birokrasi pemerintah terlalu
kental sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja negara dan daya serap.
Jadi di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negeri,
tetapi di pihak lain kondisi dalam negeri masih kurang kondusif.
3.2 Ekonomi
Kerakyatan Versus
Ekonomi Liberal
3.2.1 Ekonomi Kerakyatan
Menjelang
pemilihan presiden, istilah ekonomi kerakyatan mulai ramai menjadi bahan
perbincangan umum dan diskusi publik. Beberapa kandidat yang bertarung kali ini
menyatakan dirinya sebagai pendukung ekonomi kerakyatan dengan caranya
masing-masing. Ini sebetulnya tanda baik, karena kini isu ekonomi menjadi tema
pokok dalam pemilihan presiden.
Tetapi
masalahnya, istilah ekonomi kerakyatan ini cukup membingungkan karena dipahami
secara amat terbatas. Hal itu terjadi karena istilah ekonomi kerakyatan
digunakan sebagai slogan politik yang digunakan untuk menarik pemilih ketimbang
sebagai suatu rumusan paket kebijakan ekonomi yang utuh.
Istilah
ekonomi kerakyatan disodorkan oleh para penganjurnya sebagai paham ekonomi yang
berpihak kepada rakyat. Berbagai macam pertanyaan timbul antara lain. Mungkin
yang dimaksudkan adalah rakyat miskin. Jadi, ekonomi kerakyatan adalah paham
ekonomi yang berpihak kepada rakyat miskin. Dalam konteks ini, tampaknya
istilah ekonomi kerakyatan sengaja digunakan sebagai tandingan atas ekonomi
yang dipersepsikan kurang berpihak kepada rakyat miskin.
Pertama-tama,
istilah ekonomi kerakyatan tidak dikenal dalam literatur ekonomi dan ekonomi
politik. Yang terdapat dalam pembahasan ekonomi adalah kategorisasi suatu
populasi berdasarkan pendapatannya. Maka, kemudian dikenal adanya masyarakat
berpendapatan tinggi atau kaya dan masyarakat berpendapatan rendah atau miskin.
Kedua, berdasarkan kategori tersebut kemudian dibuat analisis dampak dari suatu
kebijakan ekonomi terhadap masyarakat yang tingkat pendapatannya berbeda.
Hasilnya,
dampak kebijakan ekonomi dirasakan berbeda-beda pada kelompok masyarakat
berdasarkan tingkat pendapatan, gender, dan umur. Bayangkan suatu kebijakan
ekonomi dalam bidang pertanian. Ada dua kelompok petani yaitu yang kaya dan
yang miskin. Petani yang lebih kaya dapat mengadopsi bibit baru dan
meningkatkan produksinya. Dan karena produksi meningkat, harga cenderung turun.
Sementara itu, petani miskin tidak dapat membeli bibit baru sehingga
produksinya tidak bertambah dan pendapatannya tetap atau bahkan berkurang. Dari
contoh ini dapat ditarik kesimpulan suatu kebijakan ekonomi akan memberikan
dampak yang berbeda terhadap dua kategori masyarakat dengan tingkat pendapatan
yang tidak sama.
Pertumbuhan
ekonomi yang selama ini terjadi tidak mengubah ketimpangan, karena proporsi
manfaat pertumbuhan dirasakan sama oleh masyarakat kaya dan miskin. Sumber daya
masyarakat miskin terbatas, maka tidak mengherankan jika pertumbuhan ekonomi
kemudian lebih banyak dinikmati oleh masyarakat kaya karena mereka memiliki
lebih banyak sumber daya.
Dari
kenyataan tersebut kemudian dirumuskan suatu kebijakan ekonomi yang berpihak
kepada masyarakat miskin. Tujuannya, agar kelompok ini dapat menikmati
pertumbuhan ekonomi secara lebih baik dan mereka juga dapat lebih jauh terlibat
dalam aktivitas ekonomi. Inilah yang dikenal sebagai pro-poor
growth (kebijakan pertumbuhan
ekonomi yang berpihak kepada masyarakat miskin).
Asal-usul
kebijakan ekonomi ini berawal dari kegagalan pendekatan yang mengutamakan
pertumbuhan dan mengabaikan distribusi. Kebijakan ekonomi ini dapat dilacak
pada 1970-an ketika Chenery dan Ahluwalia mengenalkan konsep "pertumbuhan
dengan pemerataan". Pada 1990-an Bank Dunia mengadopsi model tersebut dan
memberikan namabroad-based growth (pertumbuhan
dengan basis yang luas). Dalam World
Development Report yang
diterbitkan pada 1990 oleh Bank Dunia, istilah ini tidak pernah didefinisikan.
Hingga akhirnya pada 1990-an, istilah broad-based
growth berubah menjadi pro-poor
growth.
Elemen penting yang saling terkait dalam pertumbuhan yang berpihak kepada
rakyat miskin: pertumbuhan, kemiskinan, dan ketimpangan.
Intinya,
kebijakan ini berupaya mengurangi kemiskinan dan ketimpangan melalui
pertumbuhan ekonomi yang lebih berpihak secara jelas. Pro-poor
growth sengaja dirancang
untuk memberikan kesempatan lebih banyak bagi masyarakat miskin untuk terlibat
dan menikmati hasil pembangunan. Caranya dengan melibatkan masyarakat miskin
dalam kegiatan ekonomi, agar mereka mendapatkan manfaat dari kegiatan ekonomi.
Selain
itu, kebijakan ini memerlukan dukungan politik yang kuat karena biasanya
menyangkut sektor publik yang menyedot dana besar seperti bidang pendidikan,
kesehatan, keluarga berencana, akses kredit atau modal, dan promosi UMKM.
Di
sini kita ambil contoh yaitu masalah:
1) UMKM
(Usaha Mikro Kecil Menengah)
UMKM
sebagai sektor ekonomi nasional yang sangat strategis dalam pembangunanekonomi
kerakyatan. UMKM merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian
Indonesia dan terbukti menjadi katup pengaman perekonomian nasional dalam masa
krisis, serta menjadi dinamisator pertumbuhan ekonomi pasca krisis ekonomi.
Selain
menjadi sektor usaha yang paling besar kontribusinya terhadap pembangunan
nasional, UMKM juga menciptakan peluang kerja yang cukup besar bagi tenaga
kerja dalam negeri, sehingga sangat membantu upaya mengurangi pengangguran.
Selain itu, UMKM selalu menjadi isu
sentral yang diperebutkan oleh para politisi dalam menarik simpati massa.
Sebagai
poros kebangkitan perekonomian nasional UMKM ternyata bukan sektor usaha yang
tanpa masalah. Selain masalah permodalan yang disebabkan sulitnya memiliki
akses dengan lembaga keuangan karena ketiadaan jaminan (collateral),
salah satu masalah yang dihadapi dan sekaligus menjadi kelemahan adalah
kurangnya akses informasi, khususnya informasi pasar.
Dalam
menghadapi mekanisme pasar yang makin terbuka dan kompetitif, penguasaan pasar
merupakan prasyarat untuk meningkatkan daya saing UMKM. Agar UMKM di
Indonesia dengan segala keterbatasannya dapat berkembang, perlu dukungan berupa
pelatihan dan penyediaan fasilitas. Tentu saja tanggung jawab terbesar untuk
memberikannya adalah pemerintah.
Salah
satu gagasan adalah perlunya dibuat pusat
komunikasi bisnis berbasis web di
setiap daerah untuk memfasilitasi UMKM dalam mengembangkan jaringan usahanya.
Pusat komunikasi bisnis berbasis web ini perlu dibangun di setiap kabupaten
atau di setiap kecamatan. Hal ini didasari pada kenyataan bahwa sebagian besar
UMKM berlokasi di desa-desa dan kota-kota kecamatan, serta belum mampu untuk
memiliki jaringan internet sendiri apalagi memiliki website.
Padahal
untuk pengembangan usaha dengan akses pasar global harus memanfaatkan media virtual.
Pusat komunikasi bisnis berbasis web ini akan memudahkan UMKM dalam memperluas
pasar baik dalam negeri maupun luar negeri dengan waktu dan biaya yang efisien.
Sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat UMKM dan tenaga kerja yang terlibat
di dalamnya akan meningkat dan secara bersinergi akan berdampak positif
terhadap keberhasilan pembangunan nasional.
2) Pendidikan
Kebijakan
mendorong pendidikan tidak dapat dinikmati secara cepat. Program pendirian
sekolah secara massif pada 1970-an terbukti memberikan dampak positif bagi
pertumbuhan sumber daya manusia. Untuk setiap sekolah dasar yang didirikan bagi
1.000 anak, berhasil ditingkatkan rata-rata tingkat pendidikan dari 0,12
menjadi 0,19 (Duflo 2001). Peningkatan diikuti peningkatan pendapatan dari 1,5
menjadi 2,7. Intinya, bertambahnya tingkat pendidikan meningkatkan pendapatan,
karena tingkat pengetahuan dan keterampilan meningkat.
Kebijakan
ekonomi akan berpihak kepada rakyat miskin, jika pemerintah memberikan alokasi
lebih banyak dalam bidang pendidikan dan juga secara khusus menyusun kebijakan
pendidikan bagi masyarakat miskin, sehingga dapat dikatakan pemerintah sudah
mengadopsi kebijakan yang memihak masyarakat miskin. Kebijakan dalam pendidikan
ini akan lebih baik lagi jika didukung oleh kebijakan lainnya dalam bidang
peningkatan nutrisi bagi masyarakat miskin.
Bagi
masyarakat miskin, kecukupan nutrisi masih menjadi barang mewah. Padahal
kebutuhan nutrisi yang minimum amat diperlukan agar anak-anak miskin dapat
mengikuti pelajaran dengan baik. Tanpa nutrisi yang baik, konsentrasi anak-anak
miskin tidak bertahan lama. Kebijakan ekonomi yang memihak masyarakat miskin
mesti dijalankan dengan serius dan bukan sekadar slogan politik. Bantuan yang
sifatnya karitatif tidak akan banyak membantu pertumbuhan ekonomi dalam jangka
panjang.
Negeri ini membutuhkan kebijakan ekonomi
yang berpihak kepada masyarakat miskin yang komprehensif, karena dua alasan
penting yaitu menjaga pertumbuhan ekonomi jangka panjang dengan meningkatnya
kualitas SDM, dan memperkecil ketimpangan.
Berkaitan
dengan uraian diatas, agar sistem ekonomi kerakyatan tidak hanya berhenti pada
tingkat wacana, sejumlah agenda konkret ekonomi kerakyatan harus segera
diangkat kepermukaan. Secara garis besar ada lima agenda pokok ekonomi kerakyatan
yang harus segera diperjuangkan. Kelima agenda tersebut anta lain:
1. Peningkatan
disiplin pengeluaran anggaran denga tujuan utam memerangi paktek KKN.
2. Penghapusan
monopoli melalui penyelenggaraan mekanisme.
3. Persaingan
yang berkeadilan (fair competition).
4. Peningkatan
alokasi sumber-sumber penerimaan negara kepada pemerintah daerah.
5. Penguasaan
dan redistribusi pemilikan lahan pertanian kepada petani penggarap.
6. Pembaharuan
UU Koperasi dan pendirian koperasi-koperasi dalam berbagai bidang usaha dan
kegiatan.
3.2.2 Ekonomi
Liberal
Di
beberapa waktu yang lalu, semenjak Boediono di calonkan sebagai wakil presiden.
Nama “Boediono” menjadi semakin popular. Munculnya nama Boediono sebagai
cawapres waktu itu menimbulkan beragam reaksi, sebagian pihak seperti kadin
mendukung pencalonan Gubernur BI ini, sebaliknya beberapa parpol koalisi PD
masih melakukan penolakan terhadap Boediono. Salah satu alasan penolakan yang
mengemuka adalah karena Boediono disinyalir menganut paham “Neoliberalisme”
yang katanya sangat merugikan negeri tercinta ini, banyak kalangan berharap
paham ekonomi kerakyatan yang seharusnya dipakai di negeri ini.
Neoliberalisme
itu istilah licin yang sering mengecoh pemakainya. Misalnya, ekonomi pasar
dianggap identik neoliberalisme. Neoliberalisme memang melibatkan aplikasi
ekonomi-pasar, tetapi tidak semua ekonomi-pasar bersifat neoliberal (ekonomi
pasar sosial, bukan neoliberal). Atau, privatisasi sering dilihat identik dengan
ciri kebijakan neoliberal. Padahal, tidak semua program privatisasi bersifat
neoliberal.
Awalan
neo (baru) pada istilah neoliberalisme menunjuk gejala kemiripan tata ekonomi
30 tahun terakhir dengan masa kejayaan liberalisme ekonomi di akhir abad ke-19
dan awal abad ke-20, yang ditandai dominasi financial
capital dalam proses ekonomi.
Namun, apa yang terjadi dalam 30 tahun terakhir bercorak lebih ekstrem daripada
seabad lalu.
Reinkarnasi
liberalisme ekonomi akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 dalam bentuk lebih
ekstrem itu berlangsung dengan mengakhiri era besar yang disebut embedded
liberalism. Embedded
liberalism merupakan model
ekonomi setelah Perang Dunia II hingga akhir dekade 1970-an. Intinya, kinerja
ekonomi pasar dikawal dengan seperangkat aturan yang membuat relasi antara
modal dan tenaga-kerja tidak selalu berakhir dengan subordinasi labour pada
capital. Seperti tata ekonomi seabad lalu, neoliberalisme berisi kecenderungan
lepasnya kinerja modal dari kawalan, tetapi dalam bentuk lebih ekstrem.
Lain
dengan liberalisme abad ke-19, neoliberalisme berkembang melalui reduksi
manusia sebagai makhluk ekonomi (homo oeconomicus). Tak ada yang aneh
pada reduksi itu. Penciutan pengandaian itu tidak dengan sendirinya keliru.
Keketatan berpikir dalam kinerja tiap ilmu biasanya melibatkan penciutan,
seperti geografi berangkat dari pengandaian manusia sebagai makhluk ruang; ilmu
hukum dari premis manusia sebagai makhluk tata aturan. Yang menarik dari visi
neoliberal adalah pengandaian manusia sebagai homo
oeconomicus direntang luas untuk
diterapkan pada semua dimensi hidup manusia.
Pada
gilirannya, perspektif oeconomicus itu
direntang untuk menjadi prinsip pengorganisasian seluruh masyarakat. Inilah
aspek yang mungkin paling tegas membedakan ekonomi neoliberal dari ekonomi
liberal klasik.
Tak
ada teori yang berjalan sendiri. Dalam stagnasi ekonomi negara-negara maju pada
dasawarsa 1970-an, dan dalam revolusi teknologi informasi sejak awal dekade
1980-an, kecenderungan itu mengalami evolusi lanjut dan menghasilkan ciri utama
neoliberalisme.
Perspektif oeconomicus bukan
hanya direntang untuk diterapkan pada dimensi lain hidup manusia, bahkan
dalamperspektif oeconomicus sendiri berkembang hierarki prioritas: prioritas
sektor finansial (financial capital) atas sektor-sektor lain dalam
ekonomi.
Hasilnya
adalah revolusi produk finansial, seperti derivatif, sekuritas, dan semacamnya.
Tren ini lalu mempertajam pembedaan antara sektor virtual dan sektor riil dalam
ekonomi, dengan prioritas yang pertama. Dalam bahasa sederhana, proses ekonomi
bergerak dengan prioritas transaksi uang ketimbang produksi barang / jasa riil.
Ada anggapan, maraknya
transaksi produk-produk finansial akan mengalir langsung ke investasi di sektor
riil (dalam bentuk pabrik atau sepatu), yang diharapkan menyediakan lapangan
kerja dan mengurangi pengangguran. Ekonom Gacrard Dumacnil dan Dominique Lacvy
punya temuan penting dengan data statistik menawan. Dalam karya baru, Capital
Resurgent (2004), mereka menemukan tetesan itu amat minim, di AS maupun di Perancis.
Kesimpulannya, finance finances it
self, but does not finance investment. Pokok ini sentral
karena kritik atas neoliberalisme biasanya dianggap sikap anti-investasi,
antipertumbuhan, antiekonomi pasar, dan semacamnya.
2.2.3 Subversi Neokolonialisme
Pertanyaannya, bagaimanakah situasi
perekonomian Indonesia saat ini? Artinya, sebagai amanat konstitusi, sejauh
manakah ekonomi kerakyatan telah dilaksanakan di Indonesia. Sebaliknya,
benarkah perekonomian Indonesia lebih didominasi oleh pelaksanaan agenda-agenda
ekonomi neoliberal sebagaimana banyak diperbincangkan belakangan ini?
Dua hal berikut perlu mendapat perhatian dalam
menjawab pertanyaan tersebut.Pertama, sebagai sebuah negara yang
mengalami penjajahan selama 3,5 abad, perekonomian Indonesia tidak dapat
mengingkari kenyataan terbangunnya struktur perekonomian yang bercorak kolonial
di Indonesia. Sebab itu, ekonomi kerakyatan pertama-tama harus dipahami sebagai
upaya sistematis untuk mengoreksi struktur perekonomian yang bercorak kolonial
tersebut. Kedua, liberalisasi bukan hal baru bagi Indonesia,
tetapi telah berlangsung sejak era kolonial.
Berangkat dari kedua catatan tersebut, secara
singkat dapat saya kemukakan bahwa perjuangan bangsa Indonesia untuk
melaksanakan ekonomi kerakyatan bukanlah perjuangan yang mudah. Kendala
terbesar justru datang dari pihak kolonial. Sejak bangsa Indonesia
memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, pihak kolonial hampir terus
menerus mensubversi upaya bangsa Indonesia untuk melaksanakan ekonomi
kerakyatan.
Secara ringkas, subversi-subversi yang
dilakukan oleh pihak kolonial untuk mencegah terselenggaranya ekonomi
kerakyatan itu adalah sebagai berikut.
Pertama, terjadinya agresi I dan II pada 1947 dan 1948. Tujuan utamanya
adalah untuk mencegah berdirinya NKRI yang berdaulat, mandiri, dan
berkepribadian.
Kedua, dipaksanya bangsa Indonesia untuk memenuhi tiga syarat ekonomi
guna memperoleh pengakuan kedaulatan dalam forum Konferensi Meja Bundar (KMB)
pada 1949. Ketiga syarat ekonomi itu adalah: (1) bersedia menerima warisan
utang Hindia Belanda sebesar 4,3 milliar gulden; (2) bersedia mematuhi
ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Dana Moneter Internasional (IMF); dan
(3) bersedia mempertahankan keberadaan perusahaan-perusahaan asing yang
beroperasi di Indonesia.
Ketiga, dilakukannya berbagai tindakan adu domba menyusul dilakukannya
tindakan pembatalan KMB secara sepihak oleh pemerintah Indonesia pada 1956. Tindakan-tindakan
itu antara lain terungkap pada meletusnya peristiwa PRRI/Permesta pada 1958.
Keempat, diselundupkannya sejumlah sarjana dan mahasiswa ekonomi
Indonesia ke AS untuk mempelajari ilmu ekonomi yang bercorak
liberal-kapitalistis sejak 1957. Para ekonom yang kemudian dikenal sebagai
Mafia Berkeley ini sengaja dipersiapkan untuk mengambil alih kendali
pengelolaan perekonomian Indonesia pasca penggulingan Soekarno pada 1966.
Kelima, dilakukannya sandiwara politik yang dikenal sebagai proses
kudeta merangkak terhadap Soekarno pada 30 September 1965, yaitu pasca
terbitnya UU No. 16/1965 pada Agustus 1965, yang menolak segala bentuk
keterlibatan modal asing di Indonesia.
Keenam, dipaksanya Soekarno untuk menandatangani empat UU sebelum ia
secara resmi dilengserkan dari kekuasaanya. Keempat UU itu adalah: (1) UU No.
7/1966 tentang penyelesaian masalah utang-piutang antara pemerintah Indonesia
dan pemerintah Belanda; (2) UU No. 8/1966 tentang pendaftaran Indonesia sebagai
anggota ADB; (3) UU No. 9/1966 tentang pendaftaran kembali Indonesia sebagai
anggota IMF dan Bank Dunia; dan (4) UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing
(PMA).
Ketujuh, dibangunnya sebuah pemerintahan
kontra-revolusioner di Indonesia sejak 1967. Melalui pemerintahan yang dipimpin
oleh Soeharto ini, para ekonom “Mafia Berkeley” yang sejak jauh-jauh hari telah
dipersiapkan oleh AS, secara sistematis berusaha membelokkan orientasi
penyelenggaraan perekonomian Indonesia dari ekonomi kerakyatan menuju ekonomi
pasar neoliberal. Tindakan pembelokan orientasi tersebut didukung sepenuhnya
oleh IMF, Bank Dunia, USAID, dan ADB dengan cara mengucurkan utang luar negeri.
Kedelapan, dilakukannya proses liberalisasi besar-besaran sejak 1983,
yaitu melalui serangkaian kebijakan yang dikemas dalam paket deregulasi dan
debirokratisasi.
Kesembilan, dipaksannya Soeharto untuk menandatangani
pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal secara terinci melalui
penandatanganan nota kesepahaman dengan IMF pada 1998, yaitu sebelum ia secara
resmi dipaksa untuk mengakhiri kekuasannya melalui sebuah gerakan politik yang
dikenal sebagai gerakan reformasi. Perlu diketahui, dalam sejarah perekonomian
Inggris, gerakan reformasi serupa dimotori antara lain oleh David Hume, Adam
Smith, David Ricardo, Thomas R. Malthus, dan John S. Mill (Giersch,1961).
Kesepuluh, dilakukannya amandemen terhadap Pasal 33 UUD 1945 yang
merupakan landasan konstitusional sistem ekonomi kerakyatan pada 2002. Melalui
perdebatan yang cukup sengit, ayat 1, 2, dan 3, berhasil dipertahankan. Tetapi
kalimat penting yang terdapat dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945, yang
berbunyi, “Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi,” turut
menguap bersama hilangnya penjelasan pasal tersebut.
Menyimak kesepuluh tindakan subversi itu,
mudah dipahami bila dalam 64 tahun setelah proklamasi, sistem ekonomi
kerakyatan tidak pernah berhasil diselenggaran di Indonesia. Perjalanan
perekonomian Indonesia selama 64 tahun ini justru lebih tepat disebut sebagai
sebuah proses transisi dari kolonialisme menuju neokolonialisme. Proses
transisi itulah antara lain yang menjelaskan semakin terperosok perekonomian
Indonesia ke dalam penyelenggaraan agenda-agenda ekonomi neoliberal dalam
beberapa waktu belakangan ini. Bahkan, utang dalam dan luar negeri pemerintah
yang pada akhir pemerintahan Soeharto berjumlah US$54 milyar, belakangan
membengkak menjadi US$165 milyar.
Perlu diketahui, penyelenggaraan agenda-agenda
ekonomi neoliberal itu antara lain tertangkap tangan melalui pembatalan seluruh
atau beberapa pasal yang terdapat dalam tiga produk perundang-undangan, yang
terbukti melanggar konstitusi, sebagai berikut: (1) UU No. 20/2002 tentang
Kelistrikan; (2) UU No. 22/2001tentang Minyak Bumi dan Gas Alam (Migas); dan
(3) UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal.
2.2.4 Perbandingan Ekonomi Kerakyatan dengan Ekonomi
Neoliberalisme
Mencermati perbedaan mencolok antara ekonomi
kerakyatan dengan neoliberalisme tersebut, tidak terlalu berlebihan bila
disimpulkan bahwa ekonomi kerakyatan pada dasarnya adalah antitesis dari
neoliberalisme. Sebab itu, sebagai saudara kandung neoliberalisme, ekonomi
negara kesejahteraan (keynesianisme), juga tidak dapat disamakan dengan ekonomi
kerakyatan. Keynesianisme memang menaruh perhatian yang sangat besar terhadap
penciptaan kesempatan kerja penuh, namun demikian ia tetap dibangun berdasarkan
prinsip persaingan bebas dan pemilikan alat-alat produksi secara pribadi. Perlu
saya tambahkan, ekonomi kerakyatan tidak dapat pula disamakan dengan ekonomi
pasar sosial. Sebagaimana dikemukakan Giersch (1961), ekonomi pasar
sosial adalah salah satu varian awal dari neoliberalisme yang digagas oleh
Alfred Muller-Armack.
2.3 Peran Negara Dalam
Ekonomi
NO.
|
Ekonomi Kerakyatan
|
Kapitalisme
|
|
Negara Kesejahteraan
|
Ekonomi Liberal
|
||
1.
|
Menyusun perekonomian sebagai usaha bersama berdasar atas azas
kekeluargaan; mengembangkan koperasi (Pasal 33 ayat 1).
|
Mengintervensi pasar untuk menciptanya kondisi kesempatan
kerja penuh.
|
Mengatur dan menjaga bekerjanya mekanisme pasar; mencegah
monopoli.
|
2.
|
Menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak; m4engembangkan 5BUMN (Pas6al 33 ayat
2).7
|
Menyelenggarakan BUMN pada cabang-cabang produksi yang tidak
dapat diselenggarakan oleh perusahaan swasta.
|
Mengembangkan sektor swasta dan melakukan
privatisasi BUMN.
|
3.
|
Menguasai dan memastikan pemanfaatan bumi, air, dan segala
kekayaan yang terkandung di dalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
(Pasal 33 ayat 3).
|
Menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dengan
pemerataan pembangunan.
|
Memacu laju pertumbuhan ekonomi, termasuk
dengan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi masuknya investasi asing.
|
4.
|
Mengelola anggaran negara untuk
kesejahteraan rakyat; memberlakukan pajak progresif dan memberikan subsidi.
|
Mengelola anggaran negara untuk kesejahteraan rakyat;
memberlakukan pajak progresif dan memberikan subsidi.
|
Melaksanakan kebijakan anggaran ketat,
termasuk menghapuskan subsidi.
|
5.
|
Menjaga stabilitas moneter.
|
Menjaga stabilitas moneter.
|
Menjaga stabilitas moneter.
|
6.
|
Memastikan setiap warga negara memperoleh haknya untuk
mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27
ayat 2).
|
Memastikan setiap warga negara memperoleh haknya untuk
mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak.
|
Melindungi pekerja perempuan, pekerja anak, dan bila perlu
menetapkan upah minimum.
|
7.
|
Memelihara fakir miskin dan anak terlantar (Pasal
34).
|
Memelihara fakir miskin dan anak terlantar.
|
Menyimak berbagai
kenyataan tersebut, dapat disaksikan betapa sangat beratnya tantangan yang
dihadapi bangsa Indonesai dalam melaksanakan amanat konstitusi untuk mewujudkan
ekonomi kerakyatan di Indonesia. Bahkan, jika dibandingkan dengan era kolonial,
tantangan yang ada saat ini justru jauh lebih berat. Pertama, pihak kolonial sebagai musuh utama ekonomi kerakyatan tidak
hadir secara kasat mata. Kedua, berlangsungnya praktik pembodohan publik
secara masif melalui praktik penggelapan sejarah sejak 1966/1967.Ketiga, terlembaganya sistem “cuci otak” yang bercorak
neoliberal dan anti ekonomi kerakyatan pada hampir semua jenjang pendidikan di
Indonesia. Keempat, setelah mengalami proses pembelokan orientasi pada
1966/1967, keberadaan struktur perekonomian yang bercorak kolonial di Indonesia
cenderung semakin mapan. Kelima, setelah melaksanakan agenda ekonomi neoliberal
secara masif dalam 10 tahun belakangan ini, cengkeraman neokolonialisme
terhadap perekonomian Indonesia cenderung semakin dalam.
Walaupun demikian,
tidak berarti sama sekali tidak ada harapan. Harapan untuk kebangkitan kembali
ekonomi kerakyatan tersebut setidak-tidaknya dapat disimak dalam lima hal
sebagai berikut. Pertama, mencuatnya perlawanan terhadap hegemoni AS
dari beberapa negara di Amerika Latin dan Asia dalam satu dekade belakangan
ini. Yang menonjol diantaranya adalah Venezuela dan Bolivia di Amerika Latin,
serta Iran di Asia. Kedua, mulai terlihatnya gejala pergeseran dalam peta
geopolotik dunia, yaitu dari yang bercorak unipolar menuju tripolar, sejak
munculnya Uni Eropa dan kebangkitan ekonomi Cina. Ketiga, berlangsungnya krisis kapitalisme internasional yang dipicu
oleh krisis kapitalisme AS sejak 2007 lalu. Keempat, meningkatnya kerusakan
ekologi di Indonesia pasca dilakukannya eksploitasi ugal-ugalan dalam rangka
neokolonialisme dan neoliberalisme dalam 40 tahun belakangan ini. Dan kelima, meningkatnya kesenjangan sosial dan ekonomi dalam perekonomian
Indonesia.
Pertanyaannya adalah,
tindakan jangka pendek, jangka menengah , dan jangka panjang apa sajakah yang
perlu dilakukan untuk memastikan berlangsunya suatu proses kebangkitan kembali
ekonomi kerakyatan dimasa datang? Untuk memperoleh jawaban yang akurat,
terutama untuk jangka menengah dan jangka panjang, tentu diperlukan suatu
pengkajian dan diskusi yang cukup luas. Tetapi untuk jangka pendek, terutama
bila dikaitkan dengan akan segera berlangsungnya proses pemilihan presiden pada
Juli mendatang, jawabannya mungkin bisa dirumuskan secara lebih sederhana.
Dengan mengatakan hal itu tidak berarti bahwa perjuangan untuk mewujudkan
ekonomi kerakyatan sangat tergantung pada siklus lima tahun pergantian
kepemimpinan nasional. Ada atau tidak ada pergantian kepemimpinan nasional,
perjuangan untuk mewujudkan ekonomi kerakyatan harus tetap berlanjut. Namun
demikian, siklus pergantian kepemimpinan nasional harus dimanfaatkan secara
optimal sebagai momentum strategis untuk mempercepat proses kebangkitan kembali
tersebut.
Singkat kata, dalam
rangka mempercepat kebangkitan kembali ekonomi kerakyatan, adalah kewajiban
setiap patriot ekonomi kerakyatan untuk memastikan bahwa pemimpin yang terpilih
bukanlah pasangan calon pemimpin yang secara jelas mengimani dan mengamalkan
neoliberalisme. Dukungan yang lebih besar harus diberikan kepada pasangan calon
pemimpin yang secara jelas dan tegas mengungkapkan komitmen mereka untuk
menyelenggarakan sistem ekonomi kerakyatan di Indonesia.
2.4 Perlunya Ekonomi Kerakyatan Dijadikan sebagai Strategi
Pembangunan Ekonomi Indonesia
Kemudian, ada empat alasan mengapa ekonomi
kerakyatan perlu dijadikan paradigma baru dan strategi baru pembangunan ekonomi
Indonesia. Keempat alasan, dimaksud adalah:
1. Karakteristik Indonesia
Pengalaman
keberhasilan Korea Selatan, Taiwan, Singapura, Brazil, meniru konsep
pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara Eropa Barat dan Amerika,
ternyata bagi negara-negara berkembang lainnya, yang menerapkan konsep yang
memberikan hasil yang berbeda. Dengan mengandalkan dana pinjaman luar negeri
untuk membiayai pembangunan, mengandalkan investasi dari luar negeri,
memperkuat industri substitusi ekspor, selama dua sampai tiga dasawarsa memang
berhasil mendorong pertumbuhan output nasional yang cukup tinggi dan memberikan
lapangan kerja cukup luas bagi rakyat. Walaupun Indonesia pernah dijuluki
sebagai salah satu dari delapan negara di Asia sebagai Asian Miracle atau negara Asia yang ajaib, karena tingkat
pertumbuhan ekonominya yang cukup mantap selama tiga dasa warsa, tetapi
ternyata sangat rentan dengan terjadinya supply shock.
Krisis mata uang Bath di Thailand, ternyata dengan cepat membawa
Indonesia dalam krisis ekonomi yang serius dan dalam waktu yang amat singkat,
ekonomi Indonesia runtuh.
Fakta ini menunjukkan kepada kepada kita,
bahwa konsep dan strategi
pembangunan ekonomi yang berhasil diterapkan di suatu negara, belum tentu akan
berhasil bila diterapkan di negara lain. Teori pertumbuhan Harrod-Domar, teori pertumbuhan Rostow, teori pertumbuhan David Romer, teori pertumbuhan Solow, dibangun dari
struktur masyarakat pelaku ekonomi yang berbeda dengan struktur ekonomi masyarakat
Indonesia. Setiap teori selalu dibangun dengan asumsi-asumsi tertentu, yang tidak
semua negara memiliki syarat-syarat yang diasumsikan. Itulah sebabnya, untuk
membangun ekonomi Indonesia yang kuat, stabil dan berkeadilan, tidak dapat
menggunakan teori generik yang ada. Kita harus merumuskan konsep pembangunan
ekonomi sendiri yang cocok dengan tuntutan politik rakyat, tuntutan konstitusi
kita, dan cocok dengan kondisi obyektif dan situasi subyektif kita.
2. Tuntutan Konstitusi
Walaupun rumusan konstitusi kita yang
menyangkut tata ekonomi yang seharusnya dibangun, belum cukup jelas sehingga
tidak mudah untuk dijabarkan bahkan dapat diinterpretasikan bermacam-macam
(semacam ekonomi bandul jam, tergantung siapa keyakinan ideologi pengusanya);
tetapi dari analisis historis sebenarnya makna atau ruhnya cukup jelas. Ruh tata ekonomi usaha bersama uang berasas kekeluargaan adalah tata
ekonomi yang memberikan kesempatan kepada seluruh rakyat untuk berpartisiasi
sebagai pelaku ekonomi. Tata ekonomi yang seharusnya dibangun adalah bukan tata
ekonomi yang monopoli atau monopsoni atau oligopoli. Tata ekonomi yang dituntut
konstitusi adalah tata ekonomi yang memberi peluang kepada seluruh rakyat atau
warga negara untuk memiliki aset dalam ekonomi nasional. Tata ekonomi nasional
adalah tata ekonomi yang membedakan secara tegas barang dan jasa mana yang
harus diproduksi oleh pemerintah dan barang dan jasa mana yang harus diproduksi
oleh sektor private atau sektor non pemerintah. Mengenai bentuk kelembagaan
ekonomi, walaupun dalam penjelasan pasal 33 dinterpretasikan sebagai bentuk
koperasi, tetapi tentu harus
menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan lingkungan.
3. Fakta Empirik
Dari krisis moneter yang berlanjut ke krisis
ekonomi dan kejatuhan nilai tukar rupiah terhadap dolar, ternyata tidak sampai
melumpuhkan perekonomian nasional. Bahwa akibat krisis ekonomi, harga kebutuhan pokok melonjak,
inflasi hampir tidak dapat dikendalikan, ekspor menurun (khususnya ekspor
produk manufaktur), impor barang modal menurun, produksi barang manufaktur
menurun, pengangguran meningkat, adalah benar. Tetapi itu semua ternyata tidak
berdampak serius terhadap perekonomian rakyat yang sumber penghasilannya bukan
dari menjual tenaga kerja.
Usaha-usaha yang digeluti atau dimiliki oleh
rakyat banyak yang produknya tidak menggunakan bahan impor, hampir tidak
mengalami goncangan yang berarti. Fakta yang lain, ketika investasi nol persen,
bahkan ternjadi penyusutan kapital, ternyata ekonomi Indonesia mampu tumbuh 3,4
persen pada tahun 1999. Ini semua membuktikan bahwa ekonomi Indonesia akan
kokoh kalau pelaku ekonomi dilakukan oleh sebanyak-banyaknya warga negara.
4. Kegagalan Pembangunan Ekonomi
Pembangunan ekonomi yang telah kita laksanakan
selama 32 tahun lebih, dilihat dari satu aspek memang menunjukkan hasil-hasil
yang cukup baik. Walaupun dalam periode tersebut, kita menghadapi 2 kali krisis
ekonomi (yaitu krisis hutang Pertamina dan krisis karena anjloknya harga
minyak), tetapi rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional masih di atas 7 persen
pertahun. Pendapatan perkapitan atau GDP perkapita juga meningkat tajam dari 60 US dolar pada
tahun 1970 menjadi 1400 US dolar pada tahun 1995. Volume dan nilai eksport
minyak dan non migas juga meningkat tajam. Tetapi pada aspek lain, kita juga
harus mengakui, bahwa jumlah penduduk miskin makin meningkat, kesenjangan
pendapatan antar golongan penduduk dan atar daerah makin lebar, jumlah dan
ratio hutang dengan GDP juga meningkat tajam, dan pemindahan pemilikan aset
ekonomi dari rakyat ke sekelompok kecil warga negara juga meningkat.
Walaupun berbagai program penanggulangan
kemiskinan telah kita dilaksanakan, program 8 jalur pemerataan telah kita
canangkan, tetapi ternyata semuanya tidak mampu memecahkan masalah-masalah
dimaksud. Oleh sebab itu, yang kita butuhkan saat ini sebenarnya bukan program
penanggulangan kemiskinan, tetapi merumuskan kembali strategi pembangunan yang
cocok untuk Indonesia. Kalau strategi pembangunan ekonomi yang kita tempuh
benar, maka sebenarnya semua program pembangunan adalah sekaligus menjadi
program penanggulangan kemiskinan.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Setelah
melihat uraian di atas di Indonesia seharusnya menerapkan ekonomi kerakyatan.
Ekonomi ini bertumpu pada sektor-sektor ekonomi rakyat, salah satu contoh
adalah UMKM yang berada di berbagai daerah perlu ditingkatkan. Dengan
mengetahui potensi-potensi daerah yang ada, pemerintah seharusnya bisa memodali
dalam bentuk uang ataupun fasilitas misalnya memberikan bantuan tunai untuk
mengembangkan UMKM yang berada di daerah itu serta memberikan
pelatihan-pelatihan bagaimana cara mengembangkan usaha. Dengan begitu, juga
dapat mengurangi pengangguran-pengangguran di sektor-sektor informal.
Selain
itu, seperti yang sudah dijelaskan di atas perlu difasilitasi dengan teknologi
yang sudah berkembang di era globalisasi ini. Salah satu contoh dengan gagasan
pusat komunikasi bisnis berbasis web. Ini diberikan pemahaman-pemahaman
bagaimana menggunakan fasilitas internet, web untuk mengembangkan UMKM yang
ada. Salah satu faktor pendukung memperluas pasar baik dalam negeri maupun luar
negeri.
Dalam
hal ini juga diperlukan adanya kerja sama dengan pemerintah. Kita tahu, salah
satu kendala tersalurnya modal yaitu korupsi yang banyak dilakukan oleh para
pejabat di pemerintahan pusat ataupun di daerah. Selama ini belum dapat
teratasi, kemungkinan sangat sulit menjalankan sistem ini. Namun, sebagai bangsa yang bermoral, perlunya
kasus-kasus yang merugikan negara harus diberantas secara tuntas untuk
mewujudkan kesejahteraan rakyat yang memadai.
Pembangunan ekonomi di Indonesia perlu segera
untuk dibenahi untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang tertuang dalam
Pembukaan UUD 1945. Hal itu bisa dilakukan dengan cara optimalisasi
sumber-sumber daya yang ada dan peran sektor-sektor rumah tangga harus lebih
efektif dan efisien untuk mewujudkan keberhasilan membangun negara. Menata
kembali kebijakan-kebijakan perdagangan luar negeri seperti ekspor dan impor agar tidak dirugikan
oleh pihak asing.
4.2 Saran
Saran-saran dari penulis mengenai ekonomi
kerakyatan dan ekonomi liberal di Indonesia yaitu
1. Indonesia yang lebih cocok untuk menerapkan
ekonomi kerakyatan sudah seharusnya secara konsisten untuk tetap menerapkannya
dan tidak mencampuradukkan dengan sistem ekonomi liberal yang lebih merugikan
bagi bangsa Indonesia
2. Semua sektor-sektor perekonomian di Indonesia
harus diperhatikan untuk mewujudkan perekonomian yang sejahtera\
3. Kegagalan-kegagalan dalam mebangun
perekonomian Indonesia bisa dijadikan sebagai bahan untuk pembelajaran sehingga
lebih tahu mana sistem yang harus diterapkan guna mewujudkan cita-cita bangsa
DAFTAR PUSTAKA
Baswir, Revrisond, 2008. Ekonomi Kerakyatan: Amanat Konstitusi
untuk Mewujudkan Demokrasi Ekonomi di Indonesia. Dalam Sarjadi dan Sugema (Eds.), Ekonomi Konstitusi. Jakarta: Sugeng Sarjadi Syndicate.
Baswir, Revrisond. 2010. Ekonomi Kerakyatan Vs Neoliberalisme. (Online), (http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/My%20Web/sembul59.htm), diakses hari
Kamis tanggal 4 April 2013, pukul 15.20 WIB.
Hatta, Mohammad. 1985. Membangun Ekonomi Indonesia. Jakarta: Inti Idayu Press.
B, Kanumoyoso. 2001. Nasionalisasi Perusahaan
Belanda di Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.