Jumat, 02 Mei 2014

Konsep Ekonomi Kerakyatan

KATA PENGANTAR


            Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-NYA kepada kita semua sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah ini dengan lancar. Tujuan penulis menyusun makalah ini adalah sebagai tugas terstruktur matakuliah Bahasa Indonesia yang diberikan oleh dosen matakuliah. Penulis mengambil judul makalah “Sistem Ekonomi Kerakyatan Versus Sistem Ekonomi Liberal di Indonesia” karena saat ini banyak terjadi perdebatan mengenai sistem ekonomi yang diterapkan di Indonesia antara sistem ekonomi kerakyatan atau sistem ekonomi liberal. Selanjutnya, hal itu memunculkan banyak pendapat yang pro dan kontra mengenai sitem ekonomi yang diterapkan di Indonesia.
            Dalam makalah ini dijelaskan mengenai pengertian dari kedua sistem ekonomi tersebut secara detail dari ciri-ciri dan perkembangannya, serta kelemahan dan kelebihan, perkembangan perekonomian di Indonesia, dan pada akhirnya mengarah kepada sistem ekonomi mana yang cocok diterapkan di Indonesia. Penulis menyusun makalah ini dari berbagai pustaka berupa buku dan infromasi dari internet. Teknik analisisnya menggunakan metode kualitatif yang berupa kalimat deskriptif dalam menjelaskan makalah mengenai topik yang penulis angkat.
            Dalam pembuatan suatu karya pasti banyak terjadi hambatan. Dalam hambatan ini harus dihadapi oleh orang yang bersangkutan. Seperti penulis yang kesulitan menentukan poin-poin mana saja yang akan dijelaskan dalam makalah ini. Namun, penulis dapat menghadapinya dengan membaca rujukan berupa buku dan internet. Selanjutnya, penulis juga masih menunda-nunda dalam mengerjakan makalah ini yang membuat tugas kuliah semakin menumpuk. Akibatnya, penyusunan makalah ini tidak segera diselesaikan. Tetapi, penulis sadar bahwa tugas yang ada harus diselesaikan segera agar tidak menumpuk sehingga nantinya beban semakin berkurang. Penulis juga masih kesulitan dalam membagi waktu antara kuliah, kegiatan, belajar, dan mengerjakan tugas. Syukur alhamdulillah penulis bisa mengendalikannya dengan membuat jadwal harian yang terstruktur.
            Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang sudah turut serta membantu penyelesaian makalah ini yang berupa materi maupun nonmateri. Adapun pihak-pihak tersebut adalah
1.      Allah SWT sebagai sumber kekuatan dan inspirasi penulis
2.      kedua orang tua penulis yang selalu mendoakan dan mendorong untuk terus belajar
3.      Ibu Wahyu Winiarsih selaku dosen matakuliah Bahasa Indonesia yang sudah memberikan banyak ilmu kepada penulis
4.      teman-teman yang sudah mendukung penulis
5.      serta pihak-pihak lain yang tidak bisa penulis sebutkan semua.
            Namun, penulis sebagai manusia biasa yang tidak pernah luput dari kesalahan. Penulis sudah melakukan yang terbaik. Demikian juga terhadap makalah ini yang masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi perbaikan makalah ini untuk menjadi yang lebih baik ke depannya.



TelukDalam, 01 April 2014


            Penulis















DAFTAR ISI
                                                                                                          Hlm.
Halaman Judul ........................................................................................................   i
Motto dan Persembahan .........................................................................................   ii
Kata Pengantar .......................................................................................................   iii
Daftar Isi ................................................................................................................    v
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang .................................................................................................    1
1.2  Rumusan Masalah ............................................................................................    2
1.3  Tujua Pembahasan ...........................................................................................    2

1.4  Manfaat Pembahasan .......................................................................................    2

BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Konsep Ekonomi Kerakyatan ..........................................................................    3
2.1.1 Pengertian dan Konsep Ekonomi Kerakyatan ........................................    3
2.1.2 Tujuan Ekonomi Kerakyatan ..................................................................    5
2.2 Konsep Ekonomi Liberalisme .........................................................................     6
2.2.1 Pengertian dan Konsep Ekonomi Liberal ...............................................    6
2.2.2 Ciri-ciri Ekonomi Liberal .......................................................................     7
2.2.3 Kebaikan Ekonomi Liberal ....................................................................     8
2.2.4 Kelamahan Ekonomi Liberal .................................................................     8
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Sejarah Perkembangan Perekonomian Indonesia ............................................    9
3.1.1 Orde Lama ..............................................................................................    9
3.1.2 Orde Baru ...............................................................................................    11
3.1.3 Orde Reformasi ......................................................................................    12
3.2 Ekonomi Kerakyatan Versus Ekonomi Liberal ..............................................     13
3.2.1 Ekonomi Kerakyatan .............................................................................     13
3.2.2 Ekonomi Liberal ....................................................................................     18
3.2.3 Subversi Neokolonialisme .....................................................................      20
3.2.4 Perbandingan Ekonomi Kerakyatan dengan Ekonomi Liberal .............      22
3.3 Peran Negara dalam Ekonomi ........................................................................     23
3.4 Perlunya Ekonomi Kerakyatan Dijadikan sebagai Strategi Pembangunan Ekonomi Indonesia ..............................................................................................................          26
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan .....................................................................................................     29
4.2 Saran ...............................................................................................................     30
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................     31




























BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
            Dewasa ini, banyak sekali terjadi perdebatan mengenai konsep sistem ekonomi yang diterapkan di Indonesia. Mereka memperdebatkan antara sistem ekonomi kerakyatan dan sistem ekonomi liberal dengan argumen mereka masing-masing. Dari perdebatan tersebut tentu memunculkan konflik-konflik yang pro dan kontra mengenai sistem ekonomi yang cocok diterapkan di Indonesia. Yang pro terhadap sistem ekonomi liberal menyatakan bahwa di Indonesia sangat terlihat jelas bahwa sistem ekonomi liberal diterapkan di negara ini. Hal itu bisa dilihat dengan aktivitas perekonomian dari banyak aspek. Misalnya, unit-unit faktor produksi boleh dimilki secara pribadi terlalu berlebihan. Banyak perusahaan besar yang dipegang pribadi dengan investasi bebas dari manapun. Kepemilikan perusahaan tersebut hanya berorientasi profit yang hanya bisa dinikmati oleh pemegang dan anggotanya. Sistem ekonomi ini memilki persaingan yang sangat ketat untuk menjadi perusahaan yang lebih maju dari yang lainnya.
            Sementara yang kontra terhadap sistem ekonomi liberal menyatakan bahwa sistem ini membawa kerugian bagi rakyat. Hal itu bisa dilihat dari keterbatasan rakyat dalam memilki faktor-faktor produksi untuk membangun usaha. Dengan keadaan seperti ini, rakyat akan semakin miskin saja sementara yang kaya semakin kaya. Selain itu, sistem ini tidak sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Sistem ekonomi yang diterapkan di Indonesia adalah sistem ekonomi yang berasaskan Pancasila berorientasi rakyat. Namun, bagaimana fakta perekonomian di Indonesia? Sudah sesuaikah dengan sistem ekonomi kerakyatan?
            Sistem ekonomi yang diterapkan di Indonesia mengalamai keambiguan. Prinsipnya adalah sistem ekonomi yang sesuai dengan nilai-nilai Pncasila. Akan tetapi, pada pelaksanaannya nol. Justru liberalis-kapitalislah yang lebih dominan terlihat di Indonesia. Rakyat yang menjadi ikon demokrasi di Indonesia juga hanya sebatas formalitas saja. Setelah itu, perhatian terhadap rakyat tidak ada implementasinya.

1.2  Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini yaitu
1.      Bagaimana sejarah perkembangan perekonomian Indonesia?
2.      Bagaimana peran sistem ekonomi kerakyatan versus sistem ekonomi liberal dalam mendukung perekonomian Indonesia?
3.      Bagaimana peran negara dalam ekonomi?
4.      Perlukah ekonomi kerakyatan dijadikan sebagai strategi pembangunan ekonomi Indonesia?

1.3  Tujuan Pembahasan
Tujuan dari pembahasan makalah ini adalah
1.      Menjelaskan konsep yang jelas mengenai ekonomi kerakyatan dan ekonomi liberal
2.      Menjelaskan bagaimana sejarah perekonomian di Indonesia
3.      Menjelaskan sistem ekonomi manakah yang cocok diterapkan di Indonesia

1.4  Manfaat Pembahasan
Manfaat dari pembahasan makalah ini adalah
1.      Mengetahui konsep ekonomi kerakyatan dan ekonomi liberal
2.      Mengetahui bagaimana rentetan sejarah perekonomian di Indonesia
3.      Mengetahui sistem ekonomi apa yang cocok diterapkan di Indonesia












BAB II
LANDASAN TEORI

2.1  Konsep Ekonomi Kerakyatan
2.1.1        Pengertian Konsep Ekonomim Kerakyatan
            Ekonomi kerakyatan, sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 33 UUD 1945, adalah sebuah sistem perekonomian yang ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi. Tiga prinsip dasar ekonomi kerakyatan adalah sebagai berikut: (1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; (2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan (3) bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
            Berdasarkan ketiga prinsip tersebut dapat disaksikan betapa sangat besarnya peran negara dalam sistem ekonomi kerakyatan. Sebagaimana dilengkapi oleh Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 34,  peran negara dalam sistem ekonomi kerakyatan antara lain meliputi lima hal sebagai berikut: (1) mengembangkan koperasi (2) mengembangkan BUMN; (3) memastikan pemanfaatan bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; (4) memenuhi hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak; (5) memelihara fakir miskin dan anak terlantar.          
            Berikut pengertian konsep dari ekonomi kerakyatan dari menurut para ahli sebagai berikut
1.      Menurut Prof. Dr. Mubyarto, Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM
Sistem ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berasas kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, dan menunjukkan pemihakan sungguh-sungguh pada ekonomi rakyat. Dalam praktiknya, ekonomi kerakyatan dapat dijelaskan juga sebagai ekonomi jejaring (network) yang menghubungkan sentra-sentra inovasi, produksi, dan kemandirian usaha masyarakat ke dalam suatu jaringan berbasis teknologi informasi, untuk terbentuknya  jejaring pasar domestik di antara sentra dan pelaku usaha masyarakat.
Ekonomi rakyat adalah kegiatan atau mereka yang berkecimpung dalam kegiatan produksi untuk memperoleh pendapatan bagi kehidupan mereka. Mereka itu adalah petani kecil, nelayan, peternak, pekebun, pengrajin, pedagang kecil, dan lain-lain, yang modal usahanya merupakan modal keluarga yang kecil dan pada umumnya tidak menggunakan tenaga kerja dari luar keluarga. Tekanan dalam hal ini adalah pada kegiatan produksi, bukan konsumsi, sehingga buruh pabrik tidak masuk dalam profesi atau kegiatan ekonomi rakyat, karena buruh adalah bagian dari unit produksi yang lebih luas yaitu pabrik atau perusahaan.
Meskipun sebagian yang dikenal sebagai UKM (Usaha Kecil Menengah) dapat dimasukkan ekonomi rakyat, namun sebagian besar kegiatan ekonomi rakyat tidak dapat disebut sebagai ”usaha” atau ”perusahaan” (firma) seperti yang dikenal dalam ilmu ekonomi perusahaan.
2.      Menurut Bung Hatta
            Bung Hatta dalam Daulat Rakyat (1931) menulis artikel berjudul Ekonomi Rakyat dalam Bahaya, sedangkan Bung Karno 3 tahun sebelumnya (Agustus 1930) dalam pembelaan di Landraad Bandung menulis nasib ekonomi rakyat sebagai berikut:
“Ekonomi Rakyat oleh sistem monopoli disempitkan, sama sekali idesak dan dipadamkan(Soekarno, Indonesia Menggugat, 1930: 31).”
3.      Menurut Alfred Masrshall
            Ekonomi Rakyat adalah kancah kegiatan ekonomi orang kecil (wong cilik), yang karena merupakan kegiatan keluarga, tidak merupakan usaha formal berbadan hukum, tidak secara resmi diakui sebagai sektor ekonomi yang berperanan penting dalam perekonomian nasional. Dalam literatur ekonomi pembangunan ekonomi kerakyatan disebut sektor informal, “underground economy”, atau “ekstralegal sector”. Alfred Marshall bapak ilmu ekonomi Neoklasik (1890) memberikan definisi ilmu ekonomi sebagai berikut :
            Economics is a study of men as they live and move and think in the ordinary business of life. But it concerns itselft chiefly with those motives which affect, most powerfully and most steadily, man’s conduct in the business part of his life.[1]
4.      Menurut Konvensi ILO169 tahun 1989
            Secara ringkas Konvensi ILO169 tahun 1989 memberi definisi ekonomi kerakyatan adalah ekonomi tradisional yang menjadi basis kehidupan masyarakat lokal dalam mempertahan kehidupannnya. Ekonomi kerakyatan ini dikembangkan berdasarkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat lokal dalam mengelola lingkungan dan tanah mereka secara turun temurun. Aktivitas ekonomi kerakyatan ini terkait dengan ekonomi subsistem,antara lain pertanian tradisional seperti perburuan, perkebunan, mencari ikan, dan kerajinan tangan serta industri rumahan.
            Semua kegiatan ekonomi tersebut dilakukan dengan pasar tradisional dan berbasis masyarakat, artinya hanya ditujukan untuk  memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya sendiri. Kegiatan ekonomi dikembangkan untuk membantu dirinya sendiri dan masyarakatnya, sehingga tidak mengekploitasi sumber daya alam yang ada.
2.1.2        Tujuan Ekonomi Kerakyatan
            Tujuan yang akan dicapai dari penguatan ekonomi kerakyatan adalah untuk melaksanakan amanat konstitusi, khususnya mengenai:
1.      Perwujudan tata ekonomi yang disusun sebagai usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan yang menjamin keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia (pasal 33 ayat 1).
2.      Perwujudan konsep Trisakti “Berdikari di bidang ekonomi, berdaulat di bidang politik, dan berkepribadian dibidang kebudayaan.”
3.      Perwujudan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup rakyat banyak dikuasai negara (pasal 33 ayat 2).
4.       Perwujudan amanat bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (pasal 27 ayat 2).
         Adapun tujuan khusus yang akan dicapai adalah untuk:
1.      Membangun Indonesia yang berdikiari secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan berkepribadian yang berkebudayaan.
2.      Mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.
3.      Mendorong pemerataan pendapatan rakyat.
4.      Meningkatkan efisiensi perekonomian secara nasional.
2.2  Konsep Ekonomi Liberal
2.2.1        Pengertian Konsep Ekonomi Liberal
            Neoliberalisme, sebagaimana dikemas oleh ordoliberalisme, adalah sebuah sistem perekonomian yang dibangun di atas tiga prinsip sebagai berikut:
1)      Tujuan utama ekonomi neoliberal adalah pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas-sempurna di pasar;
2)      Kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi diakui; dan
3)      Pembentukan harga pasar bukanlah sesuatu yang alami, melainkan hasil dari penertiban pasar yang dilakukan oleh negara melalui penerbitan undang-undang (Giersch, 1961).
            Berdasarkan ketiga prinsip tersebut maka peranan negara dalam neoliberalisme dibatasi hanya sebagai pengatur dan penjaga bekerjanya mekanisme pasar. Dalam perkembangannya, sebagaimana dikemas dalam paket Konsensus Washington,  peran negara dalam neoliberalisme ditekankan untuk melakukan empat hal sebagai berikut: (1) pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi; (2) liberalisasi sektor keuangan; (3) liberalisasi perdagangan; dan (4) pelaksanaan privatisasi BUMN (Stiglitz, 2002).
            Pengertian konsep ekonomi liberal menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut:
1.      Menurut Adam Smith
            Salah satu tokoh penemu ekonomi klasik, ekonomi liberal adalah suatu sistem ekonomi yang mempunyai kaitannya dengan "kebebasan (proses) alami." Meskipun demikian, Smith tidak pernah menggunakan penamaan paham tersebut. Sedangkan konsep kebijakan dari ekonomi (globalisasi) liberal ialah sistem ekonomi bergerak ke arah menuju pasar bebas dan sistem ekonomi berpaham perdagangan bebas dalam era globalisasi yang bertujuan menghilangkan kebijakan ekonomi proteksionisme.
2.      Menurut  Niccolo Machiavelli (Florence, 1469-1527)
            Dia adalah seorang tokoh liberal terbaik yang dikenal dengan pendapatnya, II Principe. Dia adalah pendiri realis filosofi politis yang mendukung pemerintahan republik, angkatan perang negara, divisi kekuasaan, perlindungan milik perorangan, dan pengekangan pembelanjaan pemerintah sebagai kebebasan suatu republik.
            Ia menulis secara ekstensif pada kebutuhan individu sebagai suatu karakteristik yang penting sebagai kepemerintahan yang stabil. Ia berargumentasi bahwa sebaik-baiknya kebebasan individu masih perlu dilindungi oleh legitasi serta regulasi yang baik dari pemerintah. Dan bahwa orang-orang yang bisa memimpin hukum dengan benar hanyalah orang-orang yang segala ambisi dan keegoisannya bisa dihilangkan dalam memelihara kebebasannya tersendiri. Dia berpendapat bahwa realisme adalah pusat gagasan dalam pelajaran politis dan mengutamakan kebebasan republik (individu) dibawah prinsip.
3.      Menurut Desiderius (Belanda, 1944-1536)
            Dia adalah seorang tokoh liberal yang dikenal sebagai orang yang berperikemanusiaan. Dia berkata bahwa masyarakat Erasmusian melintasi Eropa sampai pada taraf tertentu sebagai jawaban atas pergolakan reformasinya. Ia berhadapan dengan kebebasan berkehendak. Dalam karyanya De Libero Arbitrio Diatribe Sive Collatio (1524), ia meneliti dengan kepintaran dan kejeniusannya untuk menghapus keterbatasan hidup sebagai pernyataan atas kebebasan manusia.
2.2.2        Ciri-ciri Ekonomi Liberal
Ciri-ciri dari ekonomi liberal adalah sebagai berikut:
1)      Setiap orang bebas memiliki sumber-sumber produksi  termasuk barang modal.
2)      Setiap orang bebas menggunakan barang dan jasa yang dimilikinya.
3)      Pemerintah tidak melakukan intervensi (campur tangan) secara langsung dalam kegiatan ekonomi.
4)      Masyarakat terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan pemilik sumber daya produksi dan masyarakat pekerja (buruh).
5)      Timbul persaingan dalam masyarakat yang dilakukan secara bebas, terutama aktivitas ekonomi dilakukan untuk mendapatkan keuntungan atau laba.
6)       Oleh karena persaingan bebas, modal menjadi berperan penting dalam kegiatan ekonomi.
7)      Kegiatan selalu mempertimbangkan keadaan pasar dan pasar merupakan dasar dari setiap tindakan ekonomi.
1.2.3        Kebaikan Ekonomi Liberal
            Ekonomi liberal juga bisa membawa dampak yang baik terhadap suatu perekonomian. Kebaikan dari ekonomi liberal sebagai berikut
1.      Setiap individu bebas memiliki kekayaan dan sumber-sumber daya produksi, yang nantinya akan mendorong partisipasi masyarakat dalam perekonomian.
2.      Menumbuhkan inisiatif dan kreatifitas masyarakat dalam mengatur kegiatan ekonomi, karena masyarakat tidak perlu lagi menunggu perintah / komando dari pemerintah.
3.      Muncul barang-barang yang bermutu tinggi, karena adanya persaingan semangat antar masyarakat sehingga barang yang kurang bermutu tidak akan laku di pasaran
4.      Efisiensi dan efektivitas tinggi, karena setiap tindakan ekonomi didasarkan atas motif ekonomi.
1.2.4        Kelemahan Ekonomi Liberal
            Berikut kelemahan dari ekonomi liberal, yaitu
1.      Pemilik sumber daya produksi atau pemilik modal mengeksploitasi golongan pekerja. Sehinggaorang kaya akan semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. 
2.      Monopoli yang dilakukan perusahaan dapat merugikan masyarakat.
3.      Sulit melakukan pemerataan pendapatan.
4.      Sering terjadi gejolak dalam perekonomian karea pengerahan sumber daya oleh individu sering salah.
5.      Terjadinya persaingan bebas yang tidak sehat jika birokratnya korupsi.
















BAB III
PEMBAHASAN

3.1  Sejarah Perkembangan Perekonomian Indonesia
            Sejak kemerdekaan negara Indonesia sampai sekarang telah banyak terjadi perkembangan perekonomian yang sangat pesat. Hal itu merupakan hasil terhadap kebijakan para pemimpin dalam membangun segala aspek kehidupan di negara ini khususnya ekonomi. Perekonomian dalam setiap masa memiliki perbedaan yang mendasar sesuai dengan kondisi pada waktu lampau hingga sekarang. Yang jelas, perekonomian di Indonesia terjadi banyak perubahan sistem yang membawa kebaikan dan kelemahan. Berikut penjelasan mengenai sistem ekonomi yang pernah diterapkan di Indinesia.
3.1.1        Orde Lama
            Pada masa orde lama ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu
a.       Masa Paska Kemerdekaan (1945-1950)
      Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lainterjadi inflasi yang sangat tinggi, disebabkan oleh beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Berdasarkan TeoriMoneter, banyaknya jumlah mata uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
      Selain banyaknya mata uang yang beredar, keadaan ekonomi keuangan yang amat buruk juga disebabkan adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negeri RI, kas negara yang kosong, dan eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.
b.      Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
      Masa ini disebut masa liberal karena dalam politik maupun sistem ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi.
      Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi antara lain:
1.      Gunting Syarifuddin yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950 untuk mengurangi jumlah uang beredar.
2.      Progam Benteng (Kabinet Natsir) yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong impotir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi. Selain itu memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi, agar dapat berpartisipasi dengan perkembangan ekonomi nasional. Namun, usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tidak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi (Cina).
3.      Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada tanggal 15 Desember 1951 lewat UU 24 Tahun 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bak sirkulasi.
4.      Sistem Ekonomi Ali-Baba (Kabinet Ali Sastroamijoyo I) yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha Cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.

c.       Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1867)
      Sebagai akibat dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah).
      Kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah di masa ini antara lain:
à Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai mata uang antara lain uang kertas pecahan Rp 500,00 menjadi Rp50,00 dan uang Rp 1000,00 menjadi Rp 100,00.
à Pembentukan Deklarasi Ekonomi untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi prekonomian di Indonesia.
à Pemerintah tidak menghemat pengeluarannya malah banyak melaksanakan proyek-proyek mercusuar.
à Kebijakan-kebijakan di atas belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi di Indonesia dan ini merupakan salah satu akibat karena menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, ekonomi, maupun bidang lainnya.

3.1.2        Orde Baru
            Setelah melihat pengalaman masa lalu, di mana dalam sistem ekonomi liberal ternyata pengusaha pribumi kalah bersaing dengan pengusaha non-pribumi dan sistem etatisme tidak memperbaiki keadaan, maka dipilihlah sistem ekonomi campuran dalam kerangka sistem ekonomi Demokrasi Pancasila.
            Di bawah kekuasaan Soeharto (1965-1998), Indonesia menjadi pelaksana teori petumbuhan Rostow yaitu:
1.      Tahap I      : Masyarakat Tradisional.
2.      Tahap II    : Pra Kondisi untuk Tinggal Landas.
3.      Tahap III   : Tinggal Landas.
4.      Tahap IV   : Menuju Kedewasaan.
5.      Tahap V    : Konsumsi Massa Tinggi
Ini terbukti adanya pembangunan lima tahunan yang dikenal dengan PELITA (Pembangunan Lima Tahunan). Hasilnya pada tahun 1984 Indonesia berhasil swasembada beras, penurunan angka kemiskinan, perbaikan indikator kesejahteraan rakyat, dan industrialisasi meningkat pesat. Namun, dampak negatifnya adalah kerusakan serta pencemaran lingkungan, perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan dan antar kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam, penumpukan utang luar negeri, dan menimbulkan konglomerasi dan bisnis yang sarat dengan KKN. Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa di imbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang adil.
Namun, pada tanggal 21 Mei 1998, Indonesia mengalami krisis moneter yang membuat Soeharto lengser. Indonesia belum sempat menuju tahap Tinggal Landas malah kemudian meninggalkan landasannya hingga lupa pijakan ekonominya rapuh dan mulai hancur. 
3.1.3        Orde Reformasi
Pada masa reformasi juga dapat dibagi sebagai berikut:
1)      Masa Kepemimpinan BJ. Habibie
Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam ekonomi.
2)      Masa Kepemimpinan Abdurrahman Wahid
Di masa ini belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal ada berbagai persoalan ekonomi yang diwarisi dari orde baru antara lain masalah KKN, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedeudukan diganti oleh Megawati.
3)      Masa Kepemimpinan Megawati Soekarno Putri
Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain:
a.       Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5.8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
b.      Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1%. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi karena BUMN diprivatisisasi, dijual ke perusahaan asing.
4)      Masa Kepemimpinan SBY-JK
Kebijakan kontroversial pertama SBY adalah mengurangi subsidi BBM atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatarbelaki oleh naiknya harga minyak dunia. Anggarn subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan, kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat. Lalu kebijakan kontroversial kedua yakni BLT (Bantuan Lngsung Tunai) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak mendapatkannya. Ada yang mengaku masyarakat miskin sehingga menerima BLT tersebut, serta sistem pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.
            Pada bulan Oktober 2006, Indonesia melunasi seluruh sisa utangnya pada IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun, wacana untuk berhutang lagi ke luar negeri kembali mencuat setelah laporan bahwa kesenjangan ekonomi antar penduduk kaya dan mislin menjadi tajam dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 jutajiwa di bulan Maret 2006.
            Hal ini disebabkan karena pengucuran kredit perbankan ke sektor riil masih kurang (perbankan masih suka menyimpan dan di SBI), sehingga kinerjanya kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu birokrasi pemerintah terlalu kental sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja negara dan daya serap. Jadi di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negeri, tetapi di pihak lain kondisi dalam negeri masih kurang kondusif.
3.2  Ekonomi Kerakyatan Versus Ekonomi Liberal
3.2.1 Ekonomi Kerakyatan
            Menjelang pemilihan presiden, istilah ekonomi kerakyatan mulai ramai menjadi bahan perbincangan umum dan diskusi publik. Beberapa kandidat yang bertarung kali ini menyatakan dirinya sebagai pendukung ekonomi kerakyatan dengan caranya masing-masing. Ini sebetulnya tanda baik, karena kini isu ekonomi menjadi tema pokok dalam pemilihan presiden.
Tetapi masalahnya, istilah ekonomi kerakyatan ini cukup membingungkan karena dipahami secara amat terbatas. Hal itu terjadi karena istilah ekonomi kerakyatan digunakan sebagai slogan politik yang digunakan untuk menarik pemilih ketimbang sebagai suatu rumusan paket kebijakan ekonomi yang utuh.
Istilah ekonomi kerakyatan disodorkan oleh para penganjurnya sebagai paham ekonomi yang berpihak kepada rakyat. Berbagai macam pertanyaan timbul antara lain. Mungkin yang dimaksudkan adalah rakyat miskin. Jadi, ekonomi kerakyatan adalah paham ekonomi yang berpihak kepada rakyat miskin. Dalam konteks ini, tampaknya istilah ekonomi kerakyatan sengaja digunakan sebagai tandingan atas ekonomi yang dipersepsikan kurang berpihak kepada rakyat miskin.
Pertama-tama, istilah ekonomi kerakyatan tidak dikenal dalam literatur ekonomi dan ekonomi politik. Yang terdapat dalam pembahasan ekonomi adalah kategorisasi suatu populasi berdasarkan pendapatannya. Maka, kemudian dikenal adanya masyarakat berpendapatan tinggi atau kaya dan masyarakat berpendapatan rendah atau miskin. Kedua, berdasarkan kategori tersebut kemudian dibuat analisis dampak dari suatu kebijakan ekonomi terhadap masyarakat yang tingkat pendapatannya berbeda.
Hasilnya, dampak kebijakan ekonomi dirasakan berbeda-beda pada kelompok masyarakat berdasarkan tingkat pendapatan, gender, dan umur. Bayangkan suatu kebijakan ekonomi dalam bidang pertanian. Ada dua kelompok petani yaitu yang kaya dan yang miskin. Petani yang lebih kaya dapat mengadopsi bibit baru dan meningkatkan produksinya. Dan karena produksi meningkat, harga cenderung turun. Sementara itu, petani miskin tidak dapat membeli bibit baru sehingga produksinya tidak bertambah dan pendapatannya tetap atau bahkan berkurang. Dari contoh ini dapat ditarik kesimpulan suatu kebijakan ekonomi akan memberikan dampak yang berbeda terhadap dua kategori masyarakat dengan tingkat pendapatan yang tidak sama.
Pertumbuhan ekonomi yang selama ini terjadi tidak mengubah ketimpangan, karena proporsi manfaat pertumbuhan dirasakan sama oleh masyarakat kaya dan miskin. Sumber daya masyarakat miskin terbatas, maka tidak mengherankan jika pertumbuhan ekonomi kemudian lebih banyak dinikmati oleh masyarakat kaya karena mereka memiliki lebih banyak sumber daya.
Dari kenyataan tersebut kemudian dirumuskan suatu kebijakan ekonomi yang berpihak kepada masyarakat miskin. Tujuannya, agar kelompok ini dapat menikmati pertumbuhan ekonomi secara lebih baik dan mereka juga dapat lebih jauh terlibat dalam aktivitas ekonomi. Inilah yang dikenal sebagai pro-poor growth (kebijakan pertumbuhan ekonomi yang berpihak kepada masyarakat miskin).
Asal-usul kebijakan ekonomi ini berawal dari kegagalan pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan dan mengabaikan distribusi. Kebijakan ekonomi ini dapat dilacak pada 1970-an ketika Chenery dan Ahluwalia mengenalkan konsep "pertumbuhan dengan pemerataan". Pada 1990-an Bank Dunia mengadopsi model tersebut dan memberikan namabroad-based growth (pertumbuhan dengan basis yang luas). Dalam World Development Report yang diterbitkan pada 1990 oleh Bank Dunia, istilah ini tidak pernah didefinisikan. Hingga akhirnya pada 1990-an, istilah broad-based growth berubah menjadi pro-poor growth. Elemen penting yang saling terkait dalam pertumbuhan yang berpihak kepada rakyat miskin: pertumbuhan, kemiskinan, dan ketimpangan.
Intinya, kebijakan ini berupaya mengurangi kemiskinan dan ketimpangan melalui pertumbuhan ekonomi yang lebih berpihak secara jelas. Pro-poor growth sengaja dirancang untuk memberikan kesempatan lebih banyak bagi masyarakat miskin untuk terlibat dan menikmati hasil pembangunan. Caranya dengan melibatkan masyarakat miskin dalam kegiatan ekonomi, agar mereka mendapatkan manfaat dari kegiatan ekonomi.
Selain itu, kebijakan ini memerlukan dukungan politik yang kuat karena biasanya menyangkut sektor publik yang menyedot dana besar seperti bidang pendidikan, kesehatan, keluarga berencana, akses kredit atau modal, dan promosi UMKM.
Di sini kita ambil contoh yaitu masalah:
1)      UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah)
UMKM sebagai sektor ekonomi nasional yang sangat strategis dalam pembangunanekonomi kerakyatan. UMKM merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan terbukti menjadi katup pengaman perekonomian nasional dalam masa krisis, serta menjadi dinamisator pertumbuhan ekonomi pasca krisis ekonomi.
Selain menjadi sektor usaha yang paling besar kontribusinya terhadap pembangunan nasional, UMKM juga menciptakan peluang kerja yang cukup besar bagi tenaga kerja dalam negeri, sehingga sangat membantu upaya mengurangi pengangguran. Selain itu, UMKM selalu menjadi isu sentral yang diperebutkan oleh para politisi dalam menarik simpati massa.
Sebagai poros kebangkitan perekonomian nasional UMKM ternyata bukan sektor usaha yang tanpa masalah. Selain masalah permodalan yang disebabkan sulitnya memiliki akses dengan lembaga keuangan karena ketiadaan jaminan (collateral), salah satu masalah yang dihadapi dan sekaligus menjadi kelemahan adalah kurangnya akses informasi, khususnya informasi pasar.
Dalam menghadapi mekanisme pasar yang makin terbuka dan kompetitif, penguasaan pasar merupakan prasyarat untuk meningkatkan daya saing UMKM. Agar UMKM di Indonesia dengan segala keterbatasannya dapat berkembang, perlu dukungan berupa pelatihan dan penyediaan fasilitas. Tentu saja tanggung jawab terbesar untuk memberikannya adalah pemerintah.
Salah satu gagasan adalah perlunya dibuat pusat komunikasi bisnis berbasis web di setiap daerah untuk memfasilitasi UMKM dalam mengembangkan jaringan usahanya. Pusat komunikasi bisnis berbasis web ini perlu dibangun di setiap kabupaten atau di setiap kecamatan. Hal ini didasari pada kenyataan bahwa sebagian besar UMKM berlokasi di desa-desa dan kota-kota kecamatan, serta belum mampu untuk memiliki jaringan internet sendiri apalagi memiliki website.
Padahal untuk pengembangan usaha dengan akses pasar global harus memanfaatkan media virtual. Pusat komunikasi bisnis berbasis web ini akan memudahkan UMKM dalam memperluas pasar baik dalam negeri maupun luar negeri dengan waktu dan biaya yang efisien. Sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat UMKM dan tenaga kerja yang terlibat di dalamnya akan meningkat dan secara bersinergi akan berdampak positif terhadap keberhasilan pembangunan nasional.
2)      Pendidikan
Kebijakan mendorong pendidikan tidak dapat dinikmati secara cepat. Program pendirian sekolah secara massif pada 1970-an terbukti memberikan dampak positif bagi pertumbuhan sumber daya manusia. Untuk setiap sekolah dasar yang didirikan bagi 1.000 anak, berhasil ditingkatkan rata-rata tingkat pendidikan dari 0,12 menjadi 0,19 (Duflo 2001). Peningkatan diikuti peningkatan pendapatan dari 1,5 menjadi 2,7. Intinya, bertambahnya tingkat pendidikan meningkatkan pendapatan, karena tingkat pengetahuan dan keterampilan meningkat.
 Kebijakan ekonomi akan berpihak kepada rakyat miskin, jika pemerintah memberikan alokasi lebih banyak dalam bidang pendidikan dan juga secara khusus menyusun kebijakan pendidikan bagi masyarakat miskin, sehingga dapat dikatakan pemerintah sudah mengadopsi kebijakan yang memihak masyarakat miskin. Kebijakan dalam pendidikan ini akan lebih baik lagi jika didukung oleh kebijakan lainnya dalam bidang peningkatan nutrisi bagi masyarakat miskin.
Bagi masyarakat miskin, kecukupan nutrisi masih menjadi barang mewah. Padahal kebutuhan nutrisi yang minimum amat diperlukan agar anak-anak miskin dapat mengikuti pelajaran dengan baik. Tanpa nutrisi yang baik, konsentrasi anak-anak miskin tidak bertahan lama. Kebijakan ekonomi yang memihak masyarakat miskin mesti dijalankan dengan serius dan bukan sekadar slogan politik. Bantuan yang sifatnya karitatif tidak akan banyak membantu pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.
Negeri ini membutuhkan kebijakan ekonomi yang berpihak kepada masyarakat miskin yang komprehensif, karena dua alasan penting yaitu menjaga pertumbuhan ekonomi jangka panjang dengan meningkatnya kualitas SDM, dan memperkecil ketimpangan.
Berkaitan dengan uraian diatas, agar sistem ekonomi kerakyatan tidak hanya berhenti pada tingkat wacana, sejumlah agenda konkret ekonomi kerakyatan harus segera diangkat kepermukaan. Secara garis besar ada lima agenda pokok ekonomi kerakyatan yang harus segera diperjuangkan. Kelima agenda tersebut anta lain:
1.      Peningkatan disiplin pengeluaran anggaran denga tujuan utam memerangi paktek KKN.
2.      Penghapusan monopoli melalui penyelenggaraan mekanisme.
3.      Persaingan yang berkeadilan (fair competition).
4.      Peningkatan alokasi sumber-sumber penerimaan negara kepada pemerintah daerah.
5.      Penguasaan dan redistribusi pemilikan lahan pertanian kepada petani penggarap.
6.      Pembaharuan UU Koperasi dan pendirian koperasi-koperasi dalam berbagai bidang usaha dan kegiatan.
3.2.2        Ekonomi Liberal
            Di beberapa waktu yang lalu, semenjak Boediono di calonkan sebagai wakil presiden. Nama “Boediono” menjadi semakin popular. Munculnya nama Boediono sebagai cawapres waktu itu menimbulkan beragam reaksi, sebagian pihak seperti kadin mendukung pencalonan Gubernur BI ini, sebaliknya beberapa parpol koalisi PD masih melakukan penolakan terhadap Boediono. Salah satu alasan penolakan yang mengemuka adalah karena Boediono disinyalir menganut paham “Neoliberalisme” yang katanya sangat merugikan negeri tercinta ini, banyak kalangan berharap paham ekonomi kerakyatan yang seharusnya dipakai di negeri ini.
Neoliberalisme itu istilah licin yang sering mengecoh pemakainya. Misalnya, ekonomi pasar dianggap identik neoliberalisme. Neoliberalisme memang melibatkan aplikasi ekonomi-pasar, tetapi tidak semua ekonomi-pasar bersifat neoliberal (ekonomi pasar sosial, bukan neoliberal). Atau, privatisasi sering dilihat identik dengan ciri kebijakan neoliberal. Padahal, tidak semua program privatisasi bersifat neoliberal.
Awalan neo (baru) pada istilah neoliberalisme menunjuk gejala kemiripan tata ekonomi 30 tahun terakhir dengan masa kejayaan liberalisme ekonomi di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, yang ditandai dominasi financial capital dalam proses ekonomi. Namun, apa yang terjadi dalam 30 tahun terakhir bercorak lebih ekstrem daripada seabad lalu.
Reinkarnasi liberalisme ekonomi akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 dalam bentuk lebih ekstrem itu berlangsung dengan mengakhiri era besar yang disebut embedded liberalism. Embedded liberalism merupakan model ekonomi setelah Perang Dunia II hingga akhir dekade 1970-an. Intinya, kinerja ekonomi pasar dikawal dengan seperangkat aturan yang membuat relasi antara modal dan tenaga-kerja tidak selalu berakhir dengan subordinasi labour pada capital. Seperti tata ekonomi seabad lalu, neoliberalisme berisi kecenderungan lepasnya kinerja modal dari kawalan, tetapi dalam bentuk lebih ekstrem.
Lain dengan liberalisme abad ke-19, neoliberalisme berkembang melalui reduksi manusia sebagai makhluk ekonomi (homo oeconomicus). Tak ada yang aneh pada reduksi itu. Penciutan pengandaian itu tidak dengan sendirinya keliru. Keketatan berpikir dalam kinerja tiap ilmu biasanya melibatkan penciutan, seperti geografi berangkat dari pengandaian manusia sebagai makhluk ruang; ilmu hukum dari premis manusia sebagai makhluk tata aturan. Yang menarik dari visi neoliberal adalah pengandaian manusia sebagai homo oeconomicus direntang luas untuk diterapkan pada semua dimensi hidup manusia.
Pada gilirannya, perspektif oeconomicus itu direntang untuk menjadi prinsip pengorganisasian seluruh masyarakat. Inilah aspek yang mungkin paling tegas membedakan ekonomi neoliberal dari ekonomi liberal klasik.
Tak ada teori yang berjalan sendiri. Dalam stagnasi ekonomi negara-negara maju pada dasawarsa 1970-an, dan dalam revolusi teknologi informasi sejak awal dekade 1980-an, kecenderungan itu mengalami evolusi lanjut dan menghasilkan ciri utama neoliberalisme.
Perspektif oeconomicus bukan hanya direntang untuk diterapkan pada dimensi lain hidup manusia, bahkan dalamperspektif oeconomicus sendiri berkembang hierarki prioritas: prioritas sektor finansial (financial capital) atas sektor-sektor lain dalam ekonomi.
Hasilnya adalah revolusi produk finansial, seperti derivatif, sekuritas, dan semacamnya. Tren ini lalu mempertajam pembedaan antara sektor virtual dan sektor riil dalam ekonomi, dengan prioritas yang pertama. Dalam bahasa sederhana, proses ekonomi bergerak dengan prioritas transaksi uang ketimbang produksi barang / jasa riil.
Ada anggapan, maraknya transaksi produk-produk finansial akan mengalir langsung ke investasi di sektor riil (dalam bentuk pabrik atau sepatu), yang diharapkan menyediakan lapangan kerja dan mengurangi pengangguran. Ekonom Gacrard Dumacnil dan Dominique Lacvy punya temuan penting dengan data statistik menawan. Dalam karya baru, Capital Resurgent (2004), mereka menemukan tetesan itu amat minim, di AS maupun di Perancis. Kesimpulannya,  finance finances it self, but does not finance investment. Pokok ini sentral karena kritik atas neoliberalisme biasanya dianggap sikap anti-investasi, antipertumbuhan, antiekonomi pasar, dan semacamnya.
2.2.3        Subversi Neokolonialisme
            Pertanyaannya, bagaimanakah situasi perekonomian Indonesia saat ini? Artinya, sebagai amanat konstitusi, sejauh manakah ekonomi kerakyatan telah dilaksanakan di Indonesia. Sebaliknya, benarkah perekonomian Indonesia lebih didominasi oleh pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal sebagaimana banyak diperbincangkan belakangan ini?
            Dua hal berikut perlu mendapat perhatian dalam menjawab pertanyaan tersebut.Pertama, sebagai sebuah negara yang mengalami penjajahan selama 3,5 abad, perekonomian Indonesia tidak dapat mengingkari kenyataan terbangunnya struktur perekonomian yang bercorak kolonial di Indonesia. Sebab itu, ekonomi kerakyatan pertama-tama harus dipahami sebagai upaya sistematis untuk mengoreksi struktur perekonomian yang bercorak kolonial tersebut. Kedua, liberalisasi bukan hal baru bagi Indonesia, tetapi telah berlangsung sejak era kolonial.
            Berangkat dari kedua catatan tersebut, secara singkat dapat saya kemukakan bahwa perjuangan bangsa Indonesia untuk melaksanakan ekonomi kerakyatan bukanlah perjuangan yang mudah. Kendala terbesar justru datang dari pihak kolonial. Sejak bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, pihak kolonial hampir terus menerus mensubversi upaya bangsa Indonesia untuk melaksanakan ekonomi kerakyatan.
            Secara ringkas, subversi-subversi yang dilakukan oleh pihak kolonial untuk mencegah terselenggaranya ekonomi kerakyatan itu adalah sebagai berikut.
            Pertama, terjadinya agresi I dan II pada 1947 dan 1948. Tujuan utamanya adalah untuk mencegah berdirinya NKRI yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian.
            Kedua, dipaksanya bangsa Indonesia untuk memenuhi tiga syarat ekonomi guna memperoleh pengakuan kedaulatan dalam forum Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949. Ketiga syarat ekonomi itu adalah: (1) bersedia menerima warisan utang Hindia Belanda sebesar 4,3 milliar gulden; (2) bersedia mematuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Dana Moneter Internasional (IMF); dan (3) bersedia mempertahankan keberadaan perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia.
            Ketiga, dilakukannya berbagai tindakan adu domba menyusul dilakukannya tindakan pembatalan KMB secara sepihak oleh pemerintah Indonesia pada 1956. Tindakan-tindakan itu antara lain terungkap pada meletusnya peristiwa PRRI/Permesta pada 1958.
            Keempat, diselundupkannya sejumlah sarjana dan mahasiswa ekonomi Indonesia ke AS untuk mempelajari ilmu ekonomi yang bercorak liberal-kapitalistis sejak 1957. Para ekonom yang kemudian dikenal sebagai Mafia Berkeley ini sengaja dipersiapkan untuk mengambil alih kendali pengelolaan perekonomian Indonesia pasca penggulingan Soekarno pada 1966.
            Kelima, dilakukannya sandiwara politik yang dikenal sebagai proses kudeta merangkak terhadap Soekarno pada 30 September 1965, yaitu pasca terbitnya UU No. 16/1965 pada Agustus 1965, yang menolak segala bentuk keterlibatan modal asing di Indonesia.
            Keenam, dipaksanya Soekarno untuk menandatangani empat UU sebelum ia secara resmi dilengserkan dari kekuasaanya. Keempat UU itu adalah: (1) UU No. 7/1966 tentang penyelesaian masalah utang-piutang antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda; (2) UU No. 8/1966 tentang pendaftaran Indonesia sebagai anggota ADB; (3) UU No. 9/1966 tentang pendaftaran kembali Indonesia sebagai anggota IMF dan Bank Dunia; dan (4) UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA).
            Ketujuh, dibangunnya sebuah pemerintahan kontra-revolusioner di Indonesia sejak 1967. Melalui pemerintahan yang dipimpin oleh Soeharto ini, para ekonom “Mafia Berkeley” yang sejak jauh-jauh hari telah dipersiapkan oleh AS, secara sistematis berusaha membelokkan orientasi penyelenggaraan perekonomian Indonesia dari ekonomi kerakyatan menuju ekonomi pasar neoliberal. Tindakan pembelokan orientasi tersebut didukung sepenuhnya oleh IMF, Bank Dunia, USAID, dan ADB dengan cara mengucurkan utang luar negeri.
            Kedelapan, dilakukannya proses liberalisasi besar-besaran sejak 1983, yaitu melalui serangkaian kebijakan yang dikemas dalam paket deregulasi dan debirokratisasi.
            Kesembilan, dipaksannya Soeharto untuk menandatangani pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal secara terinci melalui penandatanganan nota kesepahaman dengan IMF pada 1998, yaitu sebelum ia secara resmi dipaksa untuk mengakhiri kekuasannya melalui sebuah gerakan politik yang dikenal sebagai gerakan reformasi. Perlu diketahui, dalam sejarah perekonomian Inggris, gerakan reformasi serupa dimotori antara lain oleh David Hume, Adam Smith, David Ricardo, Thomas R. Malthus, dan John S. Mill (Giersch,1961).
            Kesepuluh, dilakukannya amandemen terhadap Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan landasan konstitusional sistem ekonomi kerakyatan pada 2002. Melalui perdebatan yang cukup sengit, ayat 1, 2, dan 3, berhasil dipertahankan. Tetapi kalimat penting yang terdapat dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945, yang berbunyi, “Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi,” turut menguap bersama hilangnya penjelasan pasal tersebut.
            Menyimak kesepuluh tindakan subversi itu, mudah dipahami bila dalam 64 tahun setelah proklamasi, sistem ekonomi kerakyatan tidak pernah berhasil diselenggaran di Indonesia. Perjalanan perekonomian Indonesia selama 64 tahun ini justru lebih tepat disebut sebagai sebuah proses transisi dari kolonialisme menuju neokolonialisme. Proses transisi itulah antara lain yang menjelaskan semakin terperosok perekonomian Indonesia ke dalam penyelenggaraan agenda-agenda ekonomi neoliberal dalam beberapa waktu belakangan ini. Bahkan, utang dalam dan luar negeri pemerintah yang pada akhir pemerintahan Soeharto berjumlah US$54 milyar, belakangan membengkak menjadi US$165 milyar.  
            Perlu diketahui, penyelenggaraan agenda-agenda ekonomi neoliberal itu antara lain tertangkap tangan melalui pembatalan seluruh atau beberapa pasal yang terdapat dalam tiga produk perundang-undangan, yang terbukti melanggar konstitusi, sebagai berikut: (1) UU No. 20/2002 tentang Kelistrikan; (2) UU No. 22/2001tentang Minyak Bumi dan Gas Alam (Migas); dan (3) UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal.

2.2.4        Perbandingan Ekonomi Kerakyatan dengan Ekonomi Neoliberalisme
            Mencermati perbedaan mencolok antara ekonomi kerakyatan dengan neoliberalisme tersebut, tidak terlalu berlebihan bila disimpulkan bahwa ekonomi kerakyatan pada dasarnya adalah antitesis dari neoliberalisme. Sebab itu, sebagai saudara kandung neoliberalisme, ekonomi negara kesejahteraan (keynesianisme), juga tidak dapat disamakan dengan ekonomi kerakyatan. Keynesianisme memang menaruh perhatian yang sangat besar terhadap penciptaan kesempatan kerja penuh, namun demikian ia tetap dibangun berdasarkan prinsip persaingan bebas dan pemilikan alat-alat produksi secara pribadi. Perlu saya tambahkan, ekonomi kerakyatan tidak dapat pula disamakan dengan ekonomi pasar sosial. Sebagaimana dikemukakan Giersch (1961), ekonomi pasar sosial adalah salah satu varian awal dari neoliberalisme yang digagas oleh Alfred Muller-Armack.
2.3  Peran Negara Dalam Ekonomi
NO.
Ekonomi Kerakyatan
Kapitalisme
Negara Kesejahteraan
Ekonomi Liberal
1.
Menyusun perekonomian sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; mengembangkan koperasi (Pasal 33 ayat 1).
Mengintervensi pasar untuk menciptanya kondisi kesempatan kerja penuh.
Mengatur dan menjaga bekerjanya mekanisme pasar; mencegah monopoli.
2.
Menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak; m4engembangkan 5BUMN (Pas6al 33 ayat 2).7
Menyelenggarakan BUMN pada cabang-cabang produksi yang tidak dapat diselenggarakan oleh perusahaan swasta.
Mengembangkan sektor swasta dan melakukan privatisasi BUMN.
3.
Menguasai dan memastikan pemanfaatan bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat 3).
Menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan pembangunan.
Memacu laju pertumbuhan ekonomi, termasuk dengan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi masuknya investasi asing.
4.
Mengelola anggaran negara untuk kesejahteraan rakyat; memberlakukan pajak progresif dan memberikan subsidi.
Mengelola anggaran negara untuk kesejahteraan rakyat;  memberlakukan pajak progresif dan memberikan subsidi.
Melaksanakan kebijakan anggaran ketat, termasuk menghapuskan subsidi.
5.
Menjaga stabilitas moneter.
Menjaga stabilitas moneter.
Menjaga stabilitas moneter.
6.
Memastikan setiap warga negara memperoleh haknya untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 ayat 2).
Memastikan setiap warga negara memperoleh haknya untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Melindungi pekerja perempuan, pekerja anak, dan bila perlu menetapkan upah minimum.
7.
Memelihara fakir miskin dan anak terlantar (Pasal 34).     
Memelihara fakir miskin dan anak terlantar.

Menyimak berbagai kenyataan tersebut, dapat disaksikan betapa sangat beratnya tantangan yang dihadapi bangsa Indonesai dalam melaksanakan amanat konstitusi untuk mewujudkan ekonomi kerakyatan di Indonesia. Bahkan, jika dibandingkan dengan era kolonial, tantangan yang ada saat ini justru jauh lebih berat. Pertama, pihak kolonial sebagai musuh utama ekonomi kerakyatan tidak hadir secara kasat mata. Kedua, berlangsungnya praktik pembodohan publik secara masif melalui praktik penggelapan sejarah sejak 1966/1967.Ketiga, terlembaganya sistem “cuci otak” yang bercorak neoliberal dan anti ekonomi kerakyatan pada hampir semua jenjang pendidikan di Indonesia. Keempat, setelah mengalami proses pembelokan orientasi pada 1966/1967, keberadaan struktur perekonomian yang bercorak kolonial di Indonesia cenderung semakin mapan. Kelima, setelah melaksanakan agenda ekonomi neoliberal secara masif dalam 10 tahun belakangan ini, cengkeraman neokolonialisme terhadap perekonomian Indonesia cenderung semakin dalam.
Walaupun demikian, tidak berarti sama sekali tidak ada harapan. Harapan untuk kebangkitan kembali ekonomi kerakyatan tersebut setidak-tidaknya dapat disimak dalam lima hal sebagai berikut. Pertama, mencuatnya perlawanan terhadap hegemoni AS dari beberapa negara di Amerika Latin dan Asia dalam satu dekade belakangan ini. Yang menonjol diantaranya adalah Venezuela dan Bolivia di Amerika Latin, serta Iran di Asia. Kedua, mulai terlihatnya gejala pergeseran dalam peta geopolotik dunia, yaitu dari yang bercorak unipolar menuju tripolar, sejak munculnya Uni Eropa dan kebangkitan ekonomi Cina. Ketiga, berlangsungnya krisis kapitalisme internasional yang dipicu oleh krisis kapitalisme AS sejak 2007 lalu. Keempat, meningkatnya kerusakan ekologi di Indonesia pasca dilakukannya eksploitasi ugal-ugalan dalam rangka neokolonialisme dan neoliberalisme dalam 40 tahun belakangan ini. Dan kelima, meningkatnya kesenjangan sosial dan ekonomi dalam perekonomian Indonesia.
Pertanyaannya adalah, tindakan jangka pendek, jangka menengah , dan jangka panjang apa sajakah yang perlu dilakukan untuk memastikan berlangsunya suatu proses kebangkitan kembali ekonomi kerakyatan dimasa datang? Untuk memperoleh jawaban yang akurat, terutama untuk jangka menengah dan jangka panjang, tentu diperlukan suatu pengkajian dan diskusi yang cukup luas. Tetapi untuk jangka pendek, terutama bila dikaitkan dengan akan segera berlangsungnya proses pemilihan presiden pada Juli mendatang, jawabannya mungkin bisa dirumuskan secara lebih sederhana. Dengan mengatakan hal itu tidak berarti bahwa perjuangan untuk mewujudkan ekonomi kerakyatan sangat tergantung pada siklus lima tahun pergantian kepemimpinan nasional. Ada atau tidak ada pergantian kepemimpinan nasional, perjuangan untuk mewujudkan ekonomi kerakyatan harus tetap berlanjut. Namun demikian, siklus pergantian kepemimpinan nasional harus dimanfaatkan secara optimal sebagai momentum strategis untuk mempercepat proses kebangkitan kembali tersebut.
Singkat kata, dalam rangka mempercepat kebangkitan kembali ekonomi kerakyatan, adalah kewajiban setiap patriot ekonomi kerakyatan untuk memastikan bahwa pemimpin yang terpilih bukanlah pasangan calon pemimpin yang secara jelas mengimani dan mengamalkan neoliberalisme. Dukungan yang lebih besar harus diberikan kepada pasangan calon pemimpin yang secara jelas dan tegas mengungkapkan komitmen mereka untuk menyelenggarakan sistem ekonomi kerakyatan di Indonesia.
2.4  Perlunya Ekonomi Kerakyatan Dijadikan sebagai Strategi Pembangunan Ekonomi Indonesia
            Kemudian, ada empat alasan mengapa ekonomi kerakyatan perlu dijadikan paradigma baru dan strategi baru pembangunan ekonomi Indonesia. Keempat alasan, dimaksud adalah:
1.      Karakteristik Indonesia
Pengalaman keberhasilan Korea Selatan, Taiwan, Singapura, Brazil, meniru konsep pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara Eropa Barat dan Amerika, ternyata bagi negara-negara berkembang lainnya, yang menerapkan konsep yang memberikan hasil yang berbeda. Dengan mengandalkan dana pinjaman luar negeri untuk membiayai pembangunan, mengandalkan investasi dari luar negeri, memperkuat industri substitusi ekspor, selama dua sampai tiga dasawarsa memang berhasil mendorong pertumbuhan output nasional yang cukup tinggi dan memberikan lapangan kerja cukup luas bagi rakyat. Walaupun Indonesia pernah dijuluki sebagai salah satu dari delapan negara di Asia sebagai Asian Miracle atau negara Asia yang ajaib, karena tingkat pertumbuhan ekonominya yang cukup mantap selama tiga dasa warsa, tetapi ternyata sangat rentan dengan terjadinya supply shock. Krisis mata uang Bath di Thailand, ternyata dengan cepat membawa Indonesia dalam krisis ekonomi yang serius dan dalam waktu yang amat singkat, ekonomi Indonesia runtuh.
Fakta ini menunjukkan kepada kepada kita, bahwa  konsep dan strategi pembangunan ekonomi yang berhasil diterapkan di suatu negara, belum tentu akan berhasil bila diterapkan di negara lain. Teori pertumbuhan Harrod-Domar, teori pertumbuhan Rostow, teori pertumbuhan David Romer, teori pertumbuhan Solow, dibangun dari struktur masyarakat pelaku ekonomi yang berbeda dengan struktur ekonomi masyarakat Indonesia. Setiap teori selalu dibangun  dengan asumsi-asumsi tertentu, yang tidak semua negara memiliki syarat-syarat yang diasumsikan. Itulah sebabnya, untuk membangun ekonomi Indonesia yang kuat, stabil dan berkeadilan, tidak dapat menggunakan teori generik yang ada. Kita harus merumuskan konsep pembangunan ekonomi sendiri yang cocok dengan tuntutan politik rakyat, tuntutan konstitusi kita, dan cocok dengan kondisi obyektif dan situasi subyektif kita.
2. Tuntutan Konstitusi
Walaupun rumusan konstitusi kita yang menyangkut tata ekonomi yang seharusnya dibangun, belum cukup jelas sehingga tidak mudah untuk dijabarkan bahkan dapat diinterpretasikan bermacam-macam (semacam ekonomi bandul jam, tergantung siapa keyakinan ideologi pengusanya); tetapi dari analisis historis sebenarnya makna atau ruhnya cukup jelas. Ruh tata ekonomi usaha bersama uang berasas kekeluargaan adalah tata ekonomi yang memberikan kesempatan kepada seluruh rakyat untuk berpartisiasi sebagai pelaku ekonomi. Tata ekonomi yang seharusnya dibangun adalah bukan tata ekonomi yang monopoli atau monopsoni atau oligopoli. Tata ekonomi yang dituntut konstitusi adalah tata ekonomi yang memberi peluang kepada seluruh rakyat atau warga negara untuk memiliki aset dalam ekonomi nasional. Tata ekonomi nasional adalah tata ekonomi yang membedakan secara tegas barang dan jasa mana yang harus diproduksi oleh pemerintah dan barang dan jasa mana yang harus diproduksi oleh sektor private atau sektor non pemerintah. Mengenai bentuk kelembagaan ekonomi, walaupun dalam penjelasan pasal 33 dinterpretasikan sebagai bentuk koperasi, tetapi  tentu harus menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan lingkungan.
3. Fakta Empirik
Dari krisis moneter yang berlanjut ke krisis ekonomi dan kejatuhan nilai tukar rupiah terhadap dolar, ternyata tidak sampai melumpuhkan perekonomian nasional.  Bahwa akibat krisis ekonomi, harga kebutuhan pokok melonjak, inflasi hampir tidak dapat dikendalikan, ekspor menurun (khususnya ekspor produk manufaktur), impor barang modal menurun, produksi barang manufaktur menurun, pengangguran meningkat, adalah benar. Tetapi itu semua ternyata tidak berdampak serius terhadap perekonomian rakyat yang sumber penghasilannya bukan dari menjual tenaga kerja.
Usaha-usaha yang digeluti atau dimiliki oleh rakyat banyak yang produknya tidak menggunakan bahan impor, hampir tidak mengalami goncangan yang berarti. Fakta yang lain, ketika investasi nol persen, bahkan ternjadi penyusutan kapital, ternyata ekonomi Indonesia mampu tumbuh 3,4 persen pada tahun 1999. Ini semua membuktikan bahwa ekonomi Indonesia akan kokoh kalau pelaku ekonomi dilakukan oleh sebanyak-banyaknya warga negara.
4. Kegagalan Pembangunan Ekonomi
Pembangunan ekonomi yang telah kita laksanakan selama 32 tahun lebih, dilihat dari satu aspek memang menunjukkan hasil-hasil yang cukup baik. Walaupun dalam periode tersebut, kita menghadapi 2 kali krisis ekonomi (yaitu krisis hutang Pertamina dan krisis karena anjloknya harga minyak), tetapi rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional masih di atas 7 persen pertahun. Pendapatan perkapitan atau GDP perkapita  juga meningkat tajam dari 60 US dolar pada tahun 1970 menjadi 1400 US dolar pada tahun 1995. Volume dan nilai eksport minyak dan non migas juga meningkat tajam. Tetapi pada aspek lain, kita juga harus mengakui, bahwa jumlah penduduk miskin makin meningkat, kesenjangan pendapatan antar golongan penduduk dan atar daerah makin lebar, jumlah dan ratio hutang dengan GDP juga meningkat tajam, dan pemindahan pemilikan aset ekonomi dari rakyat ke sekelompok kecil warga negara juga meningkat.
Walaupun berbagai program penanggulangan kemiskinan telah kita dilaksanakan, program 8 jalur pemerataan telah kita canangkan, tetapi ternyata semuanya tidak mampu memecahkan masalah-masalah dimaksud. Oleh sebab itu, yang kita butuhkan saat ini sebenarnya bukan program penanggulangan kemiskinan, tetapi merumuskan kembali strategi pembangunan yang cocok untuk Indonesia. Kalau strategi pembangunan ekonomi yang kita tempuh benar, maka sebenarnya semua program pembangunan adalah sekaligus menjadi program penanggulangan kemiskinan.
BAB IV
PENUTUP

4.1  Kesimpulan
Setelah melihat uraian di atas di Indonesia seharusnya menerapkan ekonomi kerakyatan. Ekonomi ini bertumpu pada sektor-sektor ekonomi rakyat, salah satu contoh adalah UMKM yang berada di berbagai daerah perlu ditingkatkan. Dengan mengetahui potensi-potensi daerah yang ada, pemerintah seharusnya bisa memodali dalam bentuk uang ataupun fasilitas misalnya memberikan bantuan tunai untuk mengembangkan UMKM yang berada di daerah itu serta memberikan pelatihan-pelatihan bagaimana cara mengembangkan usaha. Dengan begitu, juga dapat mengurangi pengangguran-pengangguran di sektor-sektor informal.
Selain itu, seperti yang sudah dijelaskan di atas perlu difasilitasi dengan teknologi yang sudah berkembang di era globalisasi ini. Salah satu contoh dengan gagasan pusat komunikasi bisnis berbasis web. Ini diberikan pemahaman-pemahaman bagaimana menggunakan fasilitas internet, web untuk mengembangkan UMKM yang ada. Salah satu faktor pendukung memperluas pasar baik dalam negeri maupun luar negeri.
Dalam hal ini juga diperlukan adanya kerja sama dengan pemerintah. Kita tahu, salah satu kendala tersalurnya modal yaitu korupsi yang banyak dilakukan oleh para pejabat di pemerintahan pusat ataupun di daerah. Selama ini belum dapat teratasi, kemungkinan sangat sulit menjalankan sistem ini. Namun, sebagai bangsa yang bermoral, perlunya kasus-kasus yang merugikan negara harus diberantas secara tuntas untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang memadai.
Pembangunan ekonomi di Indonesia perlu segera untuk dibenahi untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Hal itu bisa dilakukan dengan cara optimalisasi sumber-sumber daya yang ada dan peran sektor-sektor rumah tangga harus lebih efektif dan efisien untuk mewujudkan keberhasilan membangun negara. Menata kembali kebijakan-kebijakan perdagangan luar negeri seperti ekspor dan impor agar tidak dirugikan oleh pihak asing.

4.2  Saran
            Saran-saran dari penulis mengenai ekonomi kerakyatan dan ekonomi liberal di Indonesia yaitu
1.      Indonesia yang lebih cocok untuk menerapkan ekonomi kerakyatan sudah seharusnya secara konsisten untuk tetap menerapkannya dan tidak mencampuradukkan dengan sistem ekonomi liberal yang lebih merugikan bagi bangsa Indonesia
2.      Semua sektor-sektor perekonomian di Indonesia harus diperhatikan untuk mewujudkan perekonomian yang sejahtera\
3.      Kegagalan-kegagalan dalam mebangun perekonomian Indonesia bisa dijadikan sebagai bahan untuk pembelajaran sehingga lebih tahu mana sistem yang harus diterapkan guna mewujudkan cita-cita bangsa
















DAFTAR PUSTAKA

Baswir, Revrisond, 2008. Ekonomi Kerakyatan: Amanat Konstitusi untuk Mewujudkan  Demokrasi Ekonomi di Indonesia. Dalam Sarjadi dan Sugema           (Eds.), Ekonomi         Konstitusi. Jakarta: Sugeng Sarjadi Syndicate.
Baswir, Revrisond. 2010. Ekonomi Kerakyatan Vs Neoliberalisme. (Online),             (http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/My%20Web/sembul59.htm),    diakses           hari Kamis tanggal 4 April 2013, pukul 15.20 WIB.
Hatta, Mohammad. 1985. Membangun Ekonomi Indonesia. Jakarta: Inti Idayu Press.
B, Kanumoyoso. 2001. Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia. Jakarta:    Pustaka Sinar Harapan.